Masih hujan deras.
Aku terlambat dari jadwal kumpul karena mengelilingi sekolah ini lewat koridor sendirian hanya untuk mencari kelas XII IPA 1 yang ternyata berada di lantai 3 gedung lain.
Aku terlambat sekitar 15 menit. Sebenarnya selain karena mencari kelas, waktuku lebih banyak terbuang memperhatikan cowok yang ada di koridor tadi.
Apakah aku sudah memasuki tahap mengenal cinta dalam masa pubertas? Tertarik kepada lawan jenis. Salah satu hal yang belum pernah aku alami sebelumnya. Cowok itu menghilang di persimpangan koridor. Entah ke mana. Mungkin pulang.
Saat aku tiba di depan kelas itu, ekspektasiku adalah hanya akan ada sedikit anggota klub. Rupanya tidak.
Saat aku berdiri di ambang pintu, semua kursi sudah penuh kecuali satu bangku yang ada tepat di samping seseorang yang paling malas aku lihat.
Coba tebak dia siapa?
Ya, cowok sinis, galak, si wajah pemarah.
"Rambut Barbie telat, ya?" tanyanya sambil bertopang dagu dengan raut wajah malas.
"Jangan rambutnya doang, dong. Orangnya juga kayak Barbie," kata seorang cowok, aku tidak tahu siapa. Tidak kenal. Tidak juga melihatnya.
"Rambutnya doang. Emang Barbie punya kacamata?" tanya Gama.
Aku sampai bingung untuk masuk atau tidak. Masalahnya semua pasang mata memandangku. Aku melihat penjuru kelas. Benar-benar tidak ada bangku selain di samping Gama. Kenapa juga ada banyak anggota klub Matematika? Aku pikir tidak akan sebanyak ini.
"Maaf terlambat, Kak...." Aku memandang tiga senior yang berdiri di hadapan semua murid. Mereka bertiga adalah senior yang juga datang di kelas tadi.
"Nggak apa-apa, kok. Lo bisa berbaur dan duduk di bangku kosong," kata Kak Raihan.
"Udah nggak ada bangku kosong," kata Gama tiba-tiba. Aku meliriknya heran. "Apa?" bentaknya, memandangku tajam.
Selain sinis, galak, muka marah, dia juga pendendam. Pasti dia sensitif kepadaku karena kejadian di kantin kemarin. Makanya setiap kali melihatku, wajahnya tidak santai.
Aku masih berdiri, bingung melakukan apa. Sementara semua mata tertuju padaku, membuatku rasanya ingin pulang saja.
Kak Raihan tiba-tiba berdeham. Tak lama kemudian terdengar Gama mendengkus. "Ya udah. Duduk aja di lantai. Masih banyak yang kosong, tuh. Siapa suruh terlambat."
"Hei, lo kenapa kayak bocah nyolot, sih?" tanya seseorang, Kak Nora. "Kalau lo nggak mau berbagi mending keluar sana."
Gama menghela napas panjang. "Gue kan nggak larang dia duduk di sini. Siapa yang larang dia duduk?"
Apa? Orang gila satu ini....
Dia menatapku dengan lirikan, tapi untungnya tidak mengatakan apa pun. Sehingga aku bisa langsung beranjak untuk duduk di sampingnya.
Aku juga ogah, tapi mau bagaimana lagi.
"Dia dari kelas mana? Model rambutnya kuno banget. Hihi." Aku hanya diam. Mereka yang bicara tepat di belakangku. Bagaimana bisa mereka berbisik saat jarak kami juga lumayan dekat?
"Biasa. Dia modelan rambutnya gitu jatuhnya caper ya nggak, sih?"
"Tahu, tuh."
Bagaimana caranya menutup telinga? Aku tidak membawa earphone. Sekalipun membawanya, tidak mungkin aku mendengar musik saat berkumpul seperti ini.
Ya, benar. Aku terlalu menonjol. Tanpa sadar model rambut seperti ini membuatku lebih sering diperhatikan karena berbeda.
Harusnya aku berpenampilan yang biasa saja. Seperti yang lain.
Namun, membayangkannya saja sulit. Bagaimana aku bisa keluar rumah dengan penampilan yang tak biasa aku gunakan? Rasanya asing. Untuk orang lain, mungkin perasaan mereka sama sepertiku saat mereka keluar rumah dengan rambut dikepang dua dan memakai kacamata.
"Gue yakin kalian bakalan ngantuk," kata Kak Raihan saat mengambil spidol. "Apalagi jam segini belajar Matematika? Tapi, kita mulai dari yang seru-seru aja."
Aku memandang papan tulis dengan serius. Kak Raihan sepertinya melanjutkan penjelasannya. Aku pikir Kak Raihan akan memberikan soal Matematika seperti yang menjadi materi dalam ajaran, tetapi rupanya tidak. Ini logika Matematika dalam psikotes.
"Lo lagi nonton TV, ya?" Suara Gama. "Serius banget."
Aku tidak mau melihatnya dan fokus dengan tulisan dan perkataan Kak Raihan. Gama ... cowok ini tidak serius belajar. Apa tujuannya masuk klub ini? Karena ada aku dan dia bisa balas dendam?
Aku merasakan aura yang mengerikan. Di dekatku.
Sebentar. Aku tarik napas dulu.
Tanpa bisa bergerak sesentimeter pun, aku melirik Gama yang posisinya kepalanya berada sangat dekat dengan wajahku. Dia menyangga kepalanya dengan tangan dan sedang menatapku dengan tatapan malas.
"Apa...?" tanyaku heran.
"Lo mau tahu satu rahasia tentang diri lo?" tanyanya sok misterius. Aku memutar bola mata dan kembali melihat ke papan tulis. Rahasia tentang diriku? Kenapa kalimatnya ambigu? Memangnya dia siapa sampai tahu rahasiaku?
Gama berdeham berkali-kali sampai Kak Raihan menatapnya.
Dasar cowok aneh.
"Gue ada sebuah penawaran menarik. Gue nggak akan ganggu lo lagi, tapi dengan satu syarat," katanya, berbisik.
Namun, tidak. Suaranya terhitung keras dalam ruangan yang hening. Hujan juga sudah tidak sederas tadi, hanya ada rintik-rintik hujan di luar sana.
Kulirik cowok aneh ini dengan kesal. Dia sedang tersenyum misterius. Dasar gila. Lama-lama dia seperti benalu. Apa jangan-jangan dia selalu muncul karena memang niatnya menggangguku? Untuk balas dendam?
"Apa?" tanyaku pelan.
"Jadi pacar gue," katanya dengan suara yang bisa didengar oleh semua orang di kelas ini.
***
thanks for reading!
love,
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...