wallflower
Aku diam-diam mengeluarkan bekal ketika Sandra memandangku sambil tersenyum dari bangkunya. "Nggak ke kantin, Sha?" tanyanya.
Awalnya aku ingin langsung menggeleng karena aku punya bekal untuk makan di kelas saja, tetapi dia mendekat dan aku mau tak mau menyembunyikan bekalku untuk sementara.
Bukan karena aku tidak mau membaginya. Aku bahkan berniat untuk menyuruhnya mencicipi masakanku. Masalahnya ada di masakanku. Aku takut jika responsnya tidak sesuai dengan harapan.
"Bareng, yuk?" Sandra duduk di bangku yang berhadapan denganku. Dia duduk menyamping. "Ini udah hari ke berapa jadi murid baru dan lo belum juga berbaur dengan teman-teman yang lain."
"Itu...," gumamku, melirik bangku tempat Sandra duduk. Tadi ada teman-temannya di sana. Sepertinya mereka sudah pergi lebih dulu.
"Mau bareng, yuk, sini?" Sandra berdiri dan aku ikut berdiri. Kami berjalan menuju kantin. Kuikuti dia di sepanjang perjalanan menuju kantin dan aku lebih banyak diam. Lagi-lagi, Sandra lebih banyak bicara.
"Ngelihat lo yang suka sendiri, gue jadi ragu tahu lebih jauh tentang pesan yang dikirim serentak ke semua anak STARA."
Aku menoleh bingung, lalu teringat dengan pesan aneh hari itu. "Tentang target telah ditemukan?"
"Iya. Apalagi?" Sandra bersedekap sambil berjalan. Dia tampak berpikir. "Itu pada heboh. Nggak cuma angkatan lama yang bahas, tapi juga angkatan baru kayak di kelas kita."
Aku mengingat-ingat lagi. Benar. Hari itu semua melihat ponselnya bersamaan. "Gue pikir cuma orang iseng."
"Nggak mungkin iseng kalau ngirimnya ke semua murid STARA. Lo nggak denger anak-anak di kelas pada bahas Game Over?"
Aku menggeleng-geleng. "Game Over? Yang ada di game?"
"Bukan yang dalam game, tapi ini lebih dekat dengan STARA. Cewek-cewek pada kegirangan bahas itu."
Aku tahu Sandra masih akan mengatakan sesuatu, tetapi yang jadi kendalanya bicara adalah apa yang terjadi ketika kami memasuki kantin.
Gama memarahi teman seangkatannya yang sedang berdiri. Sementara dia duduk dengan kaki yang lurus.
"Makanya jalan lihat ke depan, bukannya lihat lantai." Suara Gama yang paling keras sampai yang lain diam. Siswa di depannya hanya menunduk ketakutan. "Lo tahu kan kaki gue pincang? Kalau lo nggak tahu kaki gue udah kayak gini dari MOS, lo bener-bener keterlaluan."
Cowok itu tidak punya cermin, ya? Dia yang keterlaluan. Untuk apa dia memarahi anak tidak tahu apa-apa di depan semua orang? Dia harus membuang kebiasaan buruknya itu. Jika di masa depan dia menjadi bos, maka sikapnya akan sama seperti sekarang. Orang-orang akan membencinya di perusahaan.
Haaah. Kenapa juga aku memikirkannya sampai ke masa depan? Paling cowok itu hanya akan jadi beban negara.
"Hei, lo. Ngapain lo ngelihatin gue terus?" Sorot mata tajam itu mengarah kepadaku, disertai tatapan menyelidik.
Aku membuang muka dan ingin kabur saja, tetapi aku teringat tentang gantungan kunci pemberian mama yang masih ada padanya. Aku berjalan mendekat. Aku harus memintanya di setiap kesempatan.
"Punya gue mana?" tanyaku, mengulurkan tangan dan menggerak-gerakkannya.
"Apa yang punya lo?" Lihat wajahnya yang menyebalkan itu. Dia sengaja memasang wajah polos tak tahu apa-apa. Dasar.
"Gantungan kunci." Kugerakkan kembali jemariku. "Cepet sini. Itu pemberian dari orang spesial. Lo nggak boleh nyuri."
"Orang spesial?" tanyanya pelan. Matanya sinis. "Oh? Spesial, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...