26

16.6K 2.8K 485
                                    

Catatan: di part 25 aku ngepost pas wattpad lagi down banget. dan banyak yang nggak masuk notifnya, ya? kalau belum muncul, refresh aja cerita ini. ini aja kayaknya masih down pas aku post part 26.

Selamat membaca dan semoga lancar aja bacanya<3

wallflower

Aku berusaha tidak peduli apa pun yang berhubungan dengan Gama. Termasuk kehadirannya yang selalu ada di sampingku.

Ketika aku turun dari mobil, Gama terlihat di depan gerbang seperti pengawas. Bersedekap, menyandarkan punggungnya ke tembok dengan pandangan yang lurus padaku.

Aku membuang muka kesal. Aku tidak mau berurusan dengannya lagi. Aku tidak mau mendengarkan apa pun karena inti dari kesalahan yang dia lakukan sudah sangat jelas. Aku melewatinya begitu saja. Tak peduli dengannya saat dia berusaha menyejajarkan langkah di sampingku.

"Gue kapan-kapan aja jelasin semuanya. Lo lagi nggak mood," katanya.

Lalu apa? Dia berharap aku akan mendengarkan semuanya dengan senang hati, lalu mengangguk-angguk menerima semua yang terjadi dengan lapang dada?

Aku tidak mau membalas perkataannya dan memilih diam. Nyatanya, aku berinteraksi dengan pikiranku sendiri. Itu sangat melelahkan.

Sepanjang waktu aku tidak memedulikan Gama. Aku tidak menggubris semua perkataannya. Baik saat dia hanya sekadar bicara maupun saat dia bertanya.

Gama tidak menyerah mengikutiku ke mana-mana. Dia kembali ikut di kelasku dan dia juga tidak banyak bicara. Dia mengikuti pelajaran dengan tenang. Disaat aku berharap Sandra melapor ke guru tentang keberadaan Gama, Sandra tidak melakukan itu. Aku? Bagaimana bisa aku melapor keberadaan Gama disaat aku sedang tidak ingin menyebut namanya?

Bahkan saat aku izin ke toilet, dia juga izin untuk ke toilet. Sepertinya, dia tidak sadar siswa-siswi lain sampai melihatnya keheranan.

Aku tak menggubrisnya sama sekali dan masuk ke toilet untuk berlama-lama di sana.

Jangan-jangan dia menunggu di luar? Kalau sampai dia melakukan itu, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.

Sekarang apa? Aku harus melakukan apa untuk bisa melewati hari-hariku dengan damai tanpanya?

Aku menutup wajahku dengan tangan. Katakan aku bodoh. Ya, aku memang bodoh. Semakin sadar bodoh saat menyadari sebuah keinginan dan harapan yang muncul.

Aku masih ingin memberinya kesempatan untuk melihat sejauh mana dia akan bertahan dengan tingkahku yang tidak mau peduli sedikit pun dengan keberadaannya.

Aku ... memang masih berhadap dia tulus. Aku berhadap dia begitu.

Kira-kira, sampai kapan dia akan terus di sampingku dan menunjukkan bahwa semua yang dia lakukan selama ini bukan semata-mata karena permainan itu?

Sampai kapan dia akan bertahan di sampingku ketika aku berusaha untuk membuatnya menyerah sendiri?

"Pe—permisi, apa di dalam bilik sini ada yang namanya Masha?" Aku mendengar suara seorang siswi. Aku menebak-nebak mengapa dia bertanya begitu. "Anu... di luar ada yang nanyain apa terjadi sesuatu? Kenapa lama?"

Aku berdecak. "Bilang ke dia, jangan ganggu gue."

Aku mengusap wajahku lelah ketika sebuah ide terlintas. Ini mungkin akan menjadi rencana tergila. Kuambil ponselku dan mulai membuka grup percakapan seangkatan.

Aku ingat tentang apa yang aku lakukan di hari pertama saat ingin mencari perhatian saking frustrasinya karena aku tidak punya teman. Itu ide paling memalukan jika aku mengingat-ingatnya lagi, yang untungnya tidak aku lakukan. Meski pada akhirnya ide itu terjadi begitu saja dengan alami.

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang