wallflower
Ini di luar rencana. Mengapa aku berakhir bersama Gama? Padahal niat awalku datang ke bioskop adalah menonton bersama Sandra.
Aku melihat Sandra sudah selesai mengantre. Dia dan Kak Daru bahkan sudah pergi ke depan studio. Aku lupa untuk menanyakan kursi berapa yang mereka pilih.
Setelah Gama selesai memesan, kami menyusul mereka. Jadwal film yang kami tonton sebentar lagi. Bahkan studio film sudah dibuka. Orang-orang berkerumun di depan studio, seolah berlomba-lomba untuk masuk dengan segera. Aku melihat Sandra dan Kak Daru ada di antara mereka.
"Kasihan nggak ditungguin."
Aku memandang Gama. "Nyindir gue, ya?"
"Hem." Dari intonasi suaranya, dia tidak niat bicara. "Justru bagus, kan? Nggak perlu ngelihat mereka."
Aku melihat orang-orang sudah sedikit dan mulai menuju pintu, menyerahkan tiket.
"Tuh, kan, dingin. Jangan lupa pakai ini," kata Gama ketika kami sudah ada di dalam studio dan dia langsung memakaikan tudung sweternya lagi di kepalaku.
Aku merapikannya ketika naik ke tangga sambil mencari keberadaan Sandra dan Kak Daru. "Mereka duduk di mana, ya?"
"Sekali lihat aja langsung ketemu." Gama melihat ke arah kiri atas. "Tuh, kursi pasangan. Paling ujung kiri."
Aku ikut melihat dan menemukan mereka di sana. Aku melambai, tapi Sandra tak merespons karena dia tak melihat ke arahku. Hanya Kak Daru yang memandangku.
Tiba-tiba Gama menarikku kencang sampai perhatianku dari Kak Daru teralihkan. "Kelewatan kursi," katanya.
"Oh, iya. Nggak lihat." Kami segera ke kursi yang berada di tengah-tengah. Aku langsung memandang Gama saat duduk, ingin memperjelas apa yang aku lakukan. "Lo udah ganggu jadwal nonton bareng gue bareng Sandra. Itu agak ngeselin. Anggap aja apa yang gue lakuin sebagai permintaan maaf gue karena hari itu."
"Hari itu yang mana?" Dia menoleh kepadaku dengan alis tebalnya yang bertautan.
"Numpahin jus. Lupa?" tanyaku.
"Oh, inget banget," balasnya cepat. "Mana bisa gue lupa ditabrak sama cewek rambut Barbie?"
Aku memutar bola mata. "Aduh, gue nggak suka dipanggil dengan sebutan rambut Barbie!"
Dia mengernyit. "Terus sukanya dipanggil apa? Awas aja lebih suka dipanggil Barbie daripada rambut Barbie."
"Nggak suka dua-duanya. Gue kan bukan Barbie." Aku memandang Gama dan masih terus berbisik sejak tadi. Gama saja yang bicara seperti biasa sampai aku merasa orang-orang sekitar memandang Gama dengan tatapan tak suka karena berisik.
"Barbie itu boneka. Siapa yang mau disamain sama boneka?" lanjutku. "Terus, kalau boneka disama-samain sama perempuan konotasinya jadi nggak bagus."
"Boneka? Oooh, mainan." Dia bergumam pelan. "Iya, bagusan manggil Masha aja kan."
***
Setelah film selesai, aku dan Gama langsung keluar bioskop karena posisi kursi kami paling ujung luar. Sekalian menunggu Sandra dan Kak Daru di luar bioskop.
Saat keluar dari bioskop, Gama langsung bicara di tengah orang yang juga keluar dari sana. "Males banget nonton orang yang lagi nangis gaje. Masa cuma karena ditinggal LDR nangis segitunya? Kalau mau ketemu, ya, tinggal pesen pesawat. Beres."
"Itu, kan, film. Namanya juga film romantis."
"Gue mana tahu itu film romantis?"
Aku menoleh bingung. "Tadi sebelum pesen nggak tahu ya itu film romantis? Terus tadi waktu pesen kenapa nggak bilang kalau nggak mau nonton film itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...