36

16.5K 2.5K 447
                                    

wallflower

Gama terus memegang tanganku seolah tak ingin melepasnya. Sementara dia hanya terus diam sambil memandangku.

"Apa sesuatu terjadi?" tanyaku pelan.

Dia hanya menggeleng sambil menaruh punggung tangannya di keningku. "Masih agak hangat."

"Jawab, Gam...." Aku memandang Gama nanar. Apa yang sudah terjadi? Kenapa dia mengalihkan pembicaraan?

Gama mencium punggung tanganku pelan. "Terakhir...."

Ketika suara pintu dibuka, Gama dengan cepat menjauhkan tangannya dariku. Kulihat Mama baru saja memasuki ruangan ini dengan sebuah ponsel yang dekat dengan telinga. Mama hanya memandangku seolah tak kaget dengan kehadiran Gama di ruangan yang sama.

"Kamu udah bangun." Dari suara Mama terdengar khawatir. Aku hanya diam ketika Mama mengambil tempat duduk, lagi-lagi tak menghiraukan Gama di hadapannya.

"Ini. Kamu makan, sayang." Mama menyodorkan makanan bersamaan saat ponselmya kembali berdering. "Ya... Halo?" Mama menyugar rambut saat memandangku. "Iya, ini segera."

Mama mengusap rambutku sambil menghela napas, lalu mendekati keningku dan mengecupnya singkat. "Mama pergi dulu, ya. Kamu harus makan. Mira masih di sekolah. Nanti Mama nyusul ke sini lagi."

Aku tak tahu harus mengatakan apa selain mengangguk. Dibanding itu, pandangan Mama sekarang kepada Gama terlihat antara frustrasi dan kesal.

"Kalau Mama telat, Mba yang bakalan ke sini."

Aku hanya membisu melihat kepergian Mama.

"Sha...," panggil Gama pelan. "Ayo makan."

Gama menyuapkan makanan ke mulutku setelah aku duduk dengan lemas.

Hanya satu yang bisa aku sadari, yang memang jelas terlihat; Gama jarang bicara.

***

Walaupun aku berusaha mendesak Gama menceritakan apa yang menjadi penyebab Mama bersikap jauh lebih baik kepada Gama dibanding sebelumnya, Gama tidak akan menjawab apa pun selain berlindung di balik bahu yang terangkat.

Gama selalu menemaniku selama aku di rumah sakit sampai akhirnya aku pulang hari ini. Selama Gama di dekatku dia akan menjaga jarak. Bahkan saat tak sengaja kami bersentuhan, dia langsung tersentak. Sampai aku bingung sendiri. Aku ingin menanyakan hal itu karena tak sesekali Gama bertindak aneh, tetapi aku tidak punya keberanian dan malah memendamnya.

"Anak itu kayak gimana? Mukanya kelihatan pemarah." Mama membuka pembicaraan saat menuntunku sampai ke kamar. Mira mengekor di belakang menikmati cokelat kesukaanya.

"Memang pemarah...."

"Hah...? Terus kamu mau pacaran sama cowok yang suka marah?"

"Nggak di aku. Sama aku nggak pernah marah, kecuali waktu itu kami belum deket. Dia suka sinis ke orang yang nggak dia sayang." Aku mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali Gama marah kepada orang lain. "Tapi..., udah jarang marah kayak biasa, sih. Dia marah biasanya kalau udah risi sama sesuatu yang terus gangguin dia."

"Jadi, maksud kamu ... Gama sayang sama kamu?"

Pertanyaan Mama membuatku salah tingkah. Mama mendudukkanku ke tepi tempat tidur, lalu ikut duduk di sampingku sembari memandangku dalam hening.

"Kenapa, Ma...?" gumamku bingung.

"Maafin Mama, Sha." Mama mengusap pipiku, menangis kecil. "Mama terlalu kacau sampai kasar sama kamu."

Aku sudah tahu mengapa Mama seperti itu. Meskipun masa-masa itu menyakitkan, tetapi aku tidak bisa dan tidak mungkin lantas membenci Mama. Tindakan Mama yang berlebihan mengunciku di dalam kamar sebagai bentuk hukuman adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh Mama. Namun, semua sudah lewat. Aku ingin melupakan kejadian itu dan fokus dengan apa yang terjadi sekarang. Meskipun hari-hari yang aku lalui saat itu rasanya sulit.

Aku merentangkan tangan dan saat melihat Mama tersenyum sambil memelukku, hatiku seketika terasa seperti bunga yang baru saja disiram air.

"Kamu bentar lagi libur semester, ya? Ayo ke Bali bareng Mama."

Sudah pasti, aku mengangguk senang.

***

Dan ... hari itu yang Mama janjikan telah tiba.

Aku ditinggalkan sendirian setelah seharian mengelilingi berbagai tempat yang belum terjelajah sepenuhnya bersama Mama. Kebahagiaanku langsung digantikan oleh kekecewaan. Aku mencoba untuk memaklumi. Mama sedang mencari kerja. Berulang kali aku berusaha untuk meyakinkan diri bahwa semua itu juga untukku, untuk Mira.

Mama langsung pergi ke kota tujuan lain setelah mendapatkan telepon dari kolega kerja. Aku hanya bisa memandang Mama dengan nanar saat Mama menyuruhku untuk menghabiskan waktu sendirian atau memutuskan untuk langsung pulang saja.

"Halo...." Dan sekarang aku berbaring malas di kamar hotel sambil menghubungi Gama. Selain tidur, menelepon Gama adalah salah satu dari dua tujuanku.

"Gimana di sana?"

Jujur, aku belum bertanya banyak tentang masalah hari itu. Apa yang menyebabkan Gama dibiarkan begitu saja oleh Mama di dekatku. Semenjak hari itu juga Gama selalu menjaga jarak.

Bukan yang menjauh karena dia masih selalu berada di sampingku seperti biasa, tetapi ... bersentuhan. Dia tidak akan melakukan kontak fisik setidaknya sejak hari itu, sejak terakhir kalinya dia mencium punggung tanganku. Aku juga sering melihat Gama tidak lagi memandangku seperti dulu.

Setiap kami saling pandang, dia langsung buang muka dan membicarakan sesuatu di luar konteks. Seperti Gama yang kukenal pertama kali, kecuali tatapan sinisnya.

Aku khawatir. Karena kekhawatiran itu, aku tidak mau mengung-ungkitnya.

"Seperti jalan-jalan pada umumnya." Aku bicara tak semangat.

"Nyokap lo di situ? Nggak apa-apa kita teleponan?" Dia terdengar khawatir dan panik. "Sha, udah dulu, ya. Lewat chat—"

"Gama."

Gama langsung terdiam.

"Mama nggak di sini." Aku menghela napas panjang. "Mama pergi."

"Per ... gi?"

Aku memandang layar hitam televisi.

"Sha?"

"Gue sendirian di sini."

"Apa?"

Aku memejamkan mata, menyalakan loudspeaker. Rasanya aku ingin tidur. Seharian jalan membuat tenagaku terkuras habis.

"Mama berangkat ke Kalimantan. Ninggalin gue sendirian." Semakin aku mengantuk, semakin aku mengatakan sesuatu dari lubuk hatiku.

***

Aku membuka mata setelah mendengar suara getaran dari panggilan telepon seseorang. Kulihat nama Gama muncul di layar dan waktu saat ini. Aku tertidur selama hampir empat jam.

"Halo?" Suara Gama langsung terdengar di tengah-tengah kesadaranku yang belum terkumpul sepenuhnya.

"Maaf gue tinggal tidur tadi," gumamku parau.

"Lo di mana sekarang? Gue udah di Bandara Ngurah Rai."

Seketika mataku membelalak. Aku sampai terduduk karena terkejut. "Apa?"

***

Maksudku, kenapa dia datang ke sini? Kenapa senekat ini?

Aku memandang Gama kesal. Sementara dia dari jauh memandangku khawatir. Kami sama-sama mengakhiri sambungan telepon yang sejak setengah jam lalu saling terhubung dan mendekat satu sama lain.

Belum sempat aku memarahinya, dia langsung mengulurkan tangannya kepadaku.

"Ayo pulang."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

.

catatan:

siap-siap part depan!

apaya

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang