wallflower
Jendela itu memantulkan sinar matahari yang masuk. Itu yang pertama kali aku lihat. Tempat yang asing, yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
Lengan Gama melingkar di perutku, membuatku langsung mengingat kejadian semalam dengan cepat. Aku membeku. Agak kaget, tetapi tidak sepenuhnya kaget.
Dalam posisi yang sepertinya tak pernah berubah, aku tidak merasakan pegal. Satu hal yang baru aku sadari bahwa saat ini aku tidak sedang berada di sofa, tetapi di atas kasur sebuah kamar.
Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang. Jendela itu menjadi benang merah yang menjawab pertanyaan di mana aku sekarang. Mungkin kamar Gama. Seharusnya yang aku lihat pertama kali adalah televisi. Aku sama sekali tak bergerak. Napas seseorang terasa di belakang kepalaku.
Aku memejamkan mata dan mengangkat tangan Gama yang tak bergerak, lalu hati-hati turun dari kasur takut membuatnya terbangun. Dia tidak merasakan itu. Saat aku menunduk dan memperhatikan wajahnya, rupanya dia tidur dengan sangat tenang. Jam berapa dia tidur sampai tak merasakan pergerakanku?
Kulangkahkan kaki untuk melangkah pergi dari kamar itu. Pandanganku berhenti pada sebuah pigura berisi foto sekeluarga dalam ukuran 4R. Seorang pria gagah berseragam tentara. Wanita cantik dengan jilbab hitam dan jas dokternya. Juga sepasang anak laki-laki dan perempuan yang perbedaan umur mereka terlihat sangat jauh. Sepertinya foto ini diambil saat Gama masih SMP.
Gama punya adik perempuan. Siapa lagi anak itu jika bukan adik Gama?
Langkahku terhenti mendadak setelah menutup pintu kamar Gama dengan hati-hati karena kehadiran seorang anak perempuan dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Memakai kemeja putih berlogo SD dengan lengan panjang. Juga rok merah semata kaki. Dia memandangku dengan pandangan datar. Aku yakin dia adalah adik Gama. Dia terlihat jauh lebih besar dibanding foto itu. Mungkin umurnya sekarang sekitar 10 tahun.
"Kok bisa keluar dari kamar Bang Gama?"
"Huh?" Aku meneguk ludah mendengar pertanyaan seperti itu secara tiba-tiba. Anak sekecil ini.... Bagaimana aku harus menjawabnya?
Demi apa pun kami hanya tidur. Hal yang paling menakutkan adalah bagaimana jika adik Gama memberitahukan perihal ini kepada orangtuanya?
Aku tersenyum canggung. Belum sempat mulutku terbuka, dia sudah bicara.
"Kakak tahu, kan, itu nggak boleh? Cowok dan cewek nggak boleh berdua-duaan. Apalagi di kamar cowok." Ada gurat marah di wajahnya yang mungil. "Kakak siapa?"
"A—aku—"
"Jangan-jangan Kak Gama pacaran?" potongnya.
Aku malah gelagapan. Berasa disidang di ruang kantor polisi.
"Aku kan udah bilang kalau pacaran itu haram. Gimana, sih?" Dia memandangku marah, seolah-olah aku adalah Gama.
Aku lupa. Apa anak umur segini sudah belajar tentang itu?
"Ah..., ya...." Aku kehabisan kata-kata. Bagaimana ini? Dia masih memandangku dengan tatapan menyelidik di balik wajahnya yang imut. "Jadi...."
"Gantari!"
"Eh?" Aku menoleh ke pintu kamar Gama yang tertutup. Dia muncul dengan wajah bangun tidurnya. Barusan... dia menyebut nama belakangku?
"Sini." Gama melewatiku dan menyambar adiknya, membawanya ke dalam gendongan.
"NGGAK MAU! AKU UDAH BESAR!"
"Ikut Abang!"
"IH, NGGAK MAUUU!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...