Bagaimana mungkin tidak ada taksi yang lewat satu pun? Aku hampir pingsan bosan di sini.
Suara mobil terdengar. Bukan dari mana-mana selain dari dalam sekolah. Aku menoleh, lalu menyipitkan mata ketika terkena silau lampu dan segera menghindar. Mobil itu berhenti tak jauh dariku. Kaca jendelanya terbuka, seseorang muncul dari sana sambil melambaikan tangannya.
Sandra? Wakil ketua kelas.
"Masha, ya?" teriaknya. "Kok belum pulang?"
"Nunggu taksi...." Aku senang disapa duluan. Sungguh. Aku tidak menyangka, kami yang di kelas jarang atau mungkin tak pernah bicara sekarang aku diajak bicara lebih dulu. Dia ternyata ramah. Hanya saja aku sadar balasanku terlalu kaku.
Aku sudah terlalu berpikir negatif kepadanya kemarin. Benar. Aku saja yang iri kepada Sandra karena Sandra gampang memiliki teman.
"Dari tadi, ya? Mau bareng kami? Ini udah malam, loh," katanya lagi. Aku bingung ingin membalas apa. Saat aku terdiam dia langsung turun dari sana membuka pintu mobil lebar-lebar.
"Ayo sini! Gue duduk di belakang. Lo di depan aja." Dia tersenyum ramah. Aku semakin bingung merespons apa.
"Nggak usah." Pada akhirnya, ucapan dengan intonasi yang terkesan tidak tahu diri juga wajahku ini membuat semuanya runyam. Aku pikir ekspresi Sandra akan berubah muram, tetapi tidak. Dia tetap tersenyum dan justru mendekatiku.
Aku tidak bisa melakukan apa pun ketika dia menarik pergelangan tanganku dan mendorongku pelan memasuki mobil pada kursi depan. Aku duduk tegang di sana karena dari ekor mataku, ada seorang berseragam SMA.
Aku tidak berani menatap ke mana pun selain ke jalanan. Sepertinya cowok. Jangan-jangan pacar Sandra? Namun, tidak mungkin Sandra membiarkanku duduk di depan bersama pacarnya.
Argh. Mengapa aku berakhir di sini?
Kurasakan kursi yang kududuki bergerak pelan. "Lo ngapain sampai pulang malam?" Suara Sandra berada tepat di belakangku.
"Habis dari kumpul, gue di sekolah ngelihat suasana doang. Yang bikin lama juga karena gue nunggu taksi lewat dan nggak lewat-lewat." Aku terus berbicara sampai lidahku hampir terlilit. "Lo sendiri ... kenapa baru pulang?"
"Tadi gue ngabisin waktu di kantin buat internetan. Sambil nunggu Bu kantin tutup juga. Ternyata suasana sepinya menenangkan." Sandra tertawa. "Oh, ya, Sha. Nggak mau kenalan sama kakak gue?"
Kakak?
Lampu merah untuk pengendara menyala. Aku menoleh tanpa persetujuan diriku sendiri dan melihat cowok itu. Beberapa detik kami bertatapan, lalu berakhir kutatap dengan sepihak karena cowok itu menatap Sandra di belakang.
Aku tidak salah lihat, kan?
Dia... si cowok bermata almond.
Dia tidak mengatakan apa pun. Dia sangat pendiam. Sama sepertiku.
"Kenalin namanya Handaru. Panggil Kak Daru aja," kata Sandra. Aku sama sekali tak merespons. Begitu pun dengan Kak Daru yang tak mengatakan apa pun.
Hening. Di sini hanya Sandra yang rajin bicara. Aku memeluk tasku dan menyadari ada sesuatu yang hilang. Ke mana gantungan kunci bunga matahariku? Itu pemberian Mama!
"Ngomong-ngomong, Sha, lo mau nomor Kakak gue? Dia jomlo karatan soalnya," kata Sandra. Tak lama kemudian kudengar Kak Daru menggeram kesal tanpa mengatakan apa pun.
Pasti Kak Daru tidak nyaman sedang dikode seperti itu karenaku. Ya, cowok mana yang suka cewek culun? Rambut kepang, kacamata, dan wajah bodoh? Penampilan yang sungguh tak enak mereka pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...