wallflower
Ketika aku baru tiba memasuki gedung sekolah, Kak Raihan tiba-tiba menahanku. Sebenarnya tak masalah. Pasti juga tak akan jauh-jauh membicarakan klub atau mungkin akan membahas aku yang hanya sebagai silent reader di dalam grup klub Matematika.
Apa yang menjadi masalah adalah kenapa aku harus bertemu dengan Gama di tempat yang sama? Posisinya juga lumayan dekat dari sini. Bukan hanya Gama dan dua temannya, tetapi ada Kak Naufal dan Kak Samuel. Dua orang yang sama dengan yang ada di kantin kemarin.
"Kalian yakin mau deketin dia? Kalau gue sih enggak. Dia jelek," kata Gama, lalu kulirik cowok itu heran. Dia memandangku terang-terangan. Seolah-olah aku lah yang dia bicarakan.
Atau memang aku?
"Heh, bocah! Lo sadar nggak lo kebaca banget?" Aku tak bisa tidak memandang mereka saat Kak Samuel mencelutuk.
Kak Naufal tertawa sambil memukul-mukul Gama. "Tenang. Setelah kami pikir-pikir, kami nggak tertarik sama Masha. Terlalu cupu. Norak."
"Mereka lagi bicarain lo kayaknya?" Kak Raihan tersenyum. Aku menatapnya heran. Kenapa dia tidak juga mengatakan tujuannya memanggilku? Bahkan Kak Raihan belum mengatakan tujuannya.
"LO YANG NORAK!" teriakan Gama sontak membuatku berpaling kembali kepadanya. "Lo nggak lihat gigi lo kuning? Sikat gigi dulu gih baru ke sekolah."
"Anjir lah. Tadi gue makan nasi kuning. Ada yang nyangkut, ya? Coba lihat. Iiii." Kak Naufal menunjukkan giginya di depan Gama dan Gama hampir memukul gigi itu jika Kak Naufal tidak mundur dengan cepat.
Hah. Kenapa aku melihat tontonan seperti ini pagi-pagi sekali?
"Lo kenapa bego, sih, Pal? Pakai sebut merek segala?" Kak Samuel memandangku, melambaikan tangan sambil tersenyum. "Halo, Barbie~"
Aku beralih kepada Kak Raihan. "Kak Raihan mau bilang apa?"
Samar-samar kudengar Kak Samuel bicara. "Yah, gue dicuekin." Lalu diikuti tawa dari beberapa orang.
"Tadi mau ngomong apa, ya?" Kak Raihan menggaruk pelipisnya. "Ah, lupa. Nanti gue chat aja, lah. Gue pergi dulu, ya?" Kak Raihan lalu pergi meninggalkanku.
Aku berjalan melewati Gama yang sedang bersedekap angkuh. Aku tidak mau lagi memandangnya. Dia kan sudah mengataiku jelek. Bukan sekali, tapi dua kali.
Sudah berapa kali aku tak sengaja melihatnya? Itu juga karena tak sengaja. Masalahnya, dia selalu ada tak jauh dariku. Bagaimana aku tidak bisa untuk tidak sengaja melihatnya?
"Masha!" Suara Sandra!
Teriakan itu membuatku berhenti. Aku berbalik balas melambaikan tangan dengan semringah.
Kami sudah berteman ... dekat.
Ya, teman dekat. Itu sebuah kemajuan yang sangat drastis dalam hubungan pertemananku dengan seseorang setelah sekian tahun lebih banyak menghabiskan waktu sendirian.
Kemarin kami sudah bertukar nomor dan semalam kami banyak membicarakan diri satu sama lain, bertukar pikiran, bercerita tentang hobi, dan antara aku dan Sandra punya banyak kesamaan.
Dia orang yang sangat menyenangkan dan yang terpenting adalah dia teman yang paling baik yang pernah aku temui. Karena ... hanya dia yang terlihat tulus berteman denganku.
Semoga pertemanan ini bertahan dan bisa berubah menjadi sebuah persahabatan.
Karena bagiku sahabat dan teman berbeda.
Sahabat memiliki arti yang jauh lebih mendalam dibanding sekadar teman.
***
Istirahat berlangsung dan Sandra langsung ke mejaku, menarik tanganku sambil melebarkan senyumnya yang tulus itu. Kupandangi teman-teman Sandra yang lain. Pandangan mereka beragam. Di antara pandangan itu, ada yang melihat kami dengan pandangan heran.
Ah, pandangan itu lebih terlihat meremehkan. Apa karena mereka merasa aneh melihat Sandra dekat denganku? Atau mereka merasa aku telah merebut temannya?
Belakangan ini aku dan Sandra memang lebih sering bersama dibanding Sandra dengan teman-temannya.
"Kita mau ke mana? Bukannya ke kantin?" Aku bingung. Sandra terus menarikku buru-buru.
"Ada. Lo pasti seneng," jawabnya sambil terus membawaku melewati siswa-siswi yang lalu lalang di koridor.
"Seneng...?" gumamku. Aku ingin berpikir jauh, tetapi apa yang akan membuatku senang? Ada banyak hal yang membuatku senang. Aku bahkan tidak bisa menebak apa yang Sandra maksud.
Kami tiba di depan sebuah pintu setelah melewati belasam anak tangga. Aku tak tahu apa yang sedang Sandra pikirkan, tetapi dia terus mendorongku menuju pintu itu. Saat aku menoleh, dia melemparkan senyum semringah.
"Buka. Ada seseorang yang nungguin lo dari tadi!" bisiknya, terdengar antusias.
"Hah?" Aku memandang Sandra bingung. Dia menarik kenop pintu, mendorongku melewati pintu itu, lalu saat aku sudah di luar pintu, pintu itu tertutup rapat. Sandra bahkan tidak sempat melewati pintu itu. Hanya tangannya yang mendorongku keluar atau lebih tepatnya ... memaksaku keluar.
"Kok lama?"
Saat aku melihat seseorang yang baru saja bicara, aku terkejut.
Dia ... juga seperti sedang terkejut setelah melihatku.
Dari tadi dia menungguku, begitu, kan, kata Sandra? Tapi kenapa dia terkejut melihat kedatanganku?
"Kak ... Daru?" gumamku, pelan.
***
thanks for reading!
love,
catatan:
Coba lakuin ini,
1. Belah tengan rambut kalian, terus kepang dua kayak Masha. Jangan lupa pakai kacamata gede item. Yang pakai behel udah pas banget tuh. Gimana penampilan kalian?
Terus setelah itu, bandingkan dengan
2. Rambut kalian digerai gelombang-gelombang gitu tanpa ada apa pun (karet dll)
Apa kesimpulan yang kalian dapat dari ngelakuin dua petunjuk itu?
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...