wallflower
Rasanya seperti ompong.
Aku terus menggerayangi gigiku dengan lidah sampai Bibi memarahiku. Seharusnya sejak dulu behel ini dicopot, tetapi aku tidak mau dan mempertahankannya. Aku baru menanggalkannya kemarin untuk menghilangkan semua jejak penampilan lama yang membuatku muak.
Hah. Aku yang menginginkan penampilan culun karena kejadian tak mengenakkan, berakhir melepaskannya karena kejadian tak mengenakkan lain.
"Sudah sampai, Nak Masha."
Ucapan Pak Ridwan mengembalikanku dari lamunan. Aku menyimpan asal cermin ke jok. Cermin yang aku gunakan di sepanjang jalan untuk melihat gigiku yang baru. Terakhir kali gigiku itu aku lihat tanpa dipagari adalah ada sebuah gingsul di satu sisi. Sekarang terlihat rapi.
"Makasih, Pak," kataku, segera keluar dari mobil dan memasuki STARA dengan perasaan berkecamuk.
Aku bisa merasakan itu. Perasaan dipandangi oleh banyak pasang mata ketika menuruni mobil. Tanpa melihat ke arah mereka pun, tanpa melihat satu titik, aku melihat tatapan mereka dari berbagai arah.
Aku meneguk ludah. Apa ini pilihan yang tepat? Kulangkahkan kaki dengan lebar. Aku ingin cepat sampai ke kelas dan mulai mengatur napas dengan baik.
Jantungku berdebar kencang. Keringat dingin. Napasku terasa berat. Aku merasa panik sampai rasanya ingin terjatuh.
"Masha!"
Teriakan itu ... suara Gama. Perasaanku mulai membaik. Aku merasa panik yang tiba-tiba mendatangiku meluap perlahan. Saat aku berbalik melihat Gama yang memang suaranya berasal dari belakang, dia memandangku dengan kesal.
Senyumku yang tadi melebar menghilang karena melihatnya heran. Dia membuka hoodienya, berhenti di hadapanku dan menaruhnya di atas kepalaku.
Tatapannya ... benar-benar marah.
"Lo dari mana? Tas lo ke mana?" Aku memandangnya bingung. Dia datang dari gerbang, tapi kenapa tidak membawa apa pun?
"Gue nungguin lo di dekat gerbang. Lo kan nggak mau gue jemput. Kenapa lo datang dalam keadaan kayak gini?"
"Tanpa kepang?" tebakku.
"Iya," katanya pelan, tapi tertahan.
Aku melirik sekitar. Siswa-siswi lain memandang kami. Bahkan kami tak peduli dengan motor-motor yang lewat. Untung saja belum ada mobil guru. Aku menarik Gama untuk menyingkir.
"Jawab gue dulu!" serunya.
Aku memandangnya sambil menghela napas. "Karena ya ... ini gue."
"Tapi ... lebih baik dikepang," kata Gama pelan. "Karena rambut kayak gitu jadi ciri khas lo banget. Karena kalau dari jauh, gue jadi tahu itu lo." Tatapannya berpaling ke lain tak mau memandangku. "Ah, meskipun lo gimanain rambut lo tetep aja gue tahu lo dari jauh, sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...