20

17.7K 2.6K 694
                                    

wallflower

Kak Dari masih jongkok memandang intens satu lukisan yang dia pungut. "Ternyata di sini. Senior dari dulu nanyain, tapi gue males nyari."

Aku lega tanpa sadar. "Itu ... mukanya—"

"Sandra?" Aku terkejut saat matanya memandangku. "Berengsek," gumamnya, sangat pelan.

Aku menahan napas. Kaget. "Nggak mungkin ... Sandra."

"Iya, nggak mungkin. Ini cuma lukisan." Kak Daru berdiri setelah mengumpulkan semua kertasnya. Sementara aku berdiri bodoh di sini, tak melakukan apa pun dengan kedua kaki yang lemas. "Foto bugil aja bisa diedit mukanya doang yang diganti."

Kak Daru lewat tepat di hadapanku, membuatku semakin kaget. Aku berusaha tidak memperlihatkan rasa terkejutku. Tapi aku merasa sangat tegang. Masih shock dengan segala tebakan negatif di pikiranku, tetapi juga ada rasa lega karena apa yang terlintas bukanlah yang sebenarnya.

"Lo mau di sini sampai jam berapa?"

Aku menoleh kepada Kak Daru yang sudah dekat dengan pintu. "Gue mau ke toilet.," kataku pelan. "Makasih, kak."

"Oh. Oke" Kak Daru mengangguk-angguk sambil berjalan mundur menuju pintu. Memegang lembaran kertas sketsa yang sudah dia lipat. "Gue juga udah mau pergi, nih. Duluan, ya." 

Aku mengangguk pelan dan masih berdiri kaku.

Yah, tidak ada yang aneh. Kak Daru adalah seniman. Senior yang dia maksud sudah pasti seniman. Akan tetapi, kenapa harus wajah Sandra? Aku tidak habis pikir dengan senior itu.

Aku melangkah keluar dari ruangan dan memikirkan sesuatu. Senior Kak Daru? Berarti alumni STARA. Wajah Sandra? Sepertinya senior yang Kak Daru maksud sudah bertemu dengan Sandra sejak lama.

Aku berhenti, bingung melihat pintu menuju tangga yang kembali dibuka. Seorang siswi satu kelasku, siswi yang selalu sinis setiap kali melihatku, baru saja membuka pintu dan menutupnya keras. Kami berada di tempat terbuka beratapkan awan. Di tempat yang memang tidak mudah terlihat oleh yang lain, tetapi sekarang masalahnya adalah pelajaran masih berlangsung dan ... kenapa dia di sini?

Aku melihat namanya. Rena. Sudah berapa lama aku bersekolah di sini dan malah baru mencari tahu nama teman sekelasku sendiri?

"Sumpah gue udah nggak tahan lagi. Lo diem aja ngeselin. Emang ya nggak seharusnya ngelihat dari luarnya doang." Rena tiba-tiba mendorong bahuku, membuatku kaget. "Dasar PHO!" bentaknya.

Aku mengernyit heran. PHO?

Rena berdecak dan menyambar tanganku, menariknya paksa memasuki ruangan Kak Daru. Dia menyentakkan tanganku setibanya di dalam ruangan dan menutup pintu rapat.

Aku mengusap pergelangan tangan. Kupandangi Rena dengan bingung. Apa maksudnya?

"Gue udah muak ya sama lo dari lihat lo pertama kali. Dasar caper!" Telunjuknya terangkat, mengarah kepadaku. "Asli. Andaikan Sandra nggak nahan gue dari awal, udah dari dulu gue ngelabrak lo. Dasar medusa!"

Aku memandangnya bingung. "Lo ... ngomong apa?"

"Dasar sampah!" teriaknya membuatku kaget. "Lo tolol apa pura-pura tolol, b*tch?"

Aku memandangnya marah. "Gimana gue tahu? Kita nggak kenal dan lo tiba-tiba datang marah kayak gini—"

"Diem lo!" Mulutku langsung mengatup rapat-rapat. "Lo nggak tahu diri banget. Sandra udah baik banget deketin lo, ngejadiin lo temen disaat nggak ada yang mau temenan sama cewek caper sok lugu kayak lo, tapi malah lo khianatin. Lo diem-diem ketemu pacarnya. Heh, cewek berengsek. Lo sadar kan lo nggak tahu diri? Haha mana ada orang kayak lo sadar. Nggak tahu diri. Udah gitu kecentilan—"

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang