32

15.9K 2.6K 426
                                    

wallflower

Satu dari beberapa hal yang menyenangkan di sekolah; sibuk dengan dunia sendiri di antara samar-samar suara keramaian siswa-siswi lain.

Ditemani es krim rasa stroberi dan tentunya ... Gama di sampingku.

Kapan sejak aku sadar mulai nyaman berada di dekatnya? Entah. Lupa. Aku hanya ingat bahwa aku tidak ingin merasakan hal itu. Takut semua yang kurasakan selama dua tahun ini adalah hal palsu.

Sampai kapan aku terus waswas dengan Gama? Entah. Sampai semua jelas. Gama masih bersama kelompok itu yang entah siapa saja, entah di mana keberadaan mereka.

Saat aku menyuruhnya untuk keluar, Gama bilang tidak bisa. Dia mengatakan ada hal yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di luar kelompok itu, termasuk diriku sendiri.

Sekitar dua bulan yang lalu Gama menjadi salah satu pemain dalam permainan itu. Dia yang menceritakannya sendiri bahwa dia ogah untuk dekat dengan target. Aku sempat melihatnya bersama target itu yang merupakan siswi kelas X.

Gama sangat kasar kepada siapa pun, tak kenal bahwa itu cewek. Ada kemajuan, sih. Setidaknya dia tidak sekasar saat kelas X. Meski tetap saja perlakuannya membuat orang lain rasanya ingin menghampiri Gama dan memberinya pelajaran.

"Lo masih tetep nggak punya pacar?" tanyaku iseng.

"Lagi bercanda, ya?" tanyanya heran.

"Maksud gue, masa selama hampir dua tahun ini lo tetep di deket gue. Cari cewek sana." Aku menoleh. Alisnya bertaut. Terlihat tak suka dengan pembicaraanku. "Nggak perlu khawatirin gue. Gue akan siap kapan pun kalau lo udah punya cewek lain. Biar gue bisa jaga jarak dan tahu diri."

"Dari tadi lo ngomong apa, sih?" tanyanya.

Aku diam-diam tersenyum.

"Hei, lupa apa gimana?" Pipiku ditarik kencang. Aku melotot memandangnya. "Kita kan udah pacaran dua tahun. Paham itu, Masha Devi Gantari?"

"Sa ... kit." Aku memegang jemari Gama yang mencubit kedua pipiku. "Itu ... dulu itu kan permainan."

"Iya, yang permainan kan Game Over. Gue nembak lo asli. Bukan permainan." Gama menyejajarkan wajahnya dengan wajahku, lalu tersenyum padaku. Jemarinya menjauh dari pipiku menuju rambutku dan mengusapnya pelan.

Aku paling tidak suka jika dia bertingkah seperti ini. Aneh.

Sekaligus ... lucu, sih.

Sepertinya aku yang aneh.

"Kenapa?" Raut wajahnya heran. Mungkin karena tatapanku.

"Enggak...." Aku menjauhkan kepalaku darinya dan kembali menikmati es krim yang semakin meleleh.

Pandanganku teralihkan oleh sosok siswi berseragam ketat. Aku tidak akan memperhatikannya jika dia tidak mendekat ke arah kami. Tepatnya ke arah Gama.

"Gamaaa!" Cewek itu berlari kecil dan tersenyum semringah ke arah Gama. Tak sekalipun pandangannya berhenti dari Gama.

Dia juga tidak memandangku sampai dia duduk tepat di samping Gama dengan menghimpit tubuhnya di samping Gama. Dia seolah tidak menganggapku yang adalah pacar Gama di sini.

Aku menyernyit. Siapa dia? Dia berusaha menempelkan dadanya ke lengan Gama dan itu membuatku sangat terganggu. Dia besar dan sengaja menempel-nempel ke lengan Gama? Maksudnya apa?

Aku tidak yakin dia tidak pernah lolos dari guru BK dengan seragam yang sengaja diperketat. Kentara. Jahitannya kentara.

Argh. Aku jadi sibuk sendiri.

"Apaan, sih!" Gama mendorong kepala cewek itu hingga terpental ke belakang. "Nggak sengaja," kata Gama, ketus.

Bagus, Gama. Kalau model begini aku tidak akan marah.

Ya..., meskipun tidak dibenarkan, sih. Tapi demi apa pun. Aku kesal sama cewek ini.

"Ya ampun kasar." Cewek itu memperbaiki poni tipisnya sambil tersenyum kepada Gama. "Makin suka, deh."

Astaga. Sinting.

Lelehan es krimku menjatuhi tangan. Aku memandang Gama kesal. "Siapa?"

"Nggak tahu," balas Gama cepat dengan muka bete.

"Nggak mungkin nggak tahu." Setelah aku berkata begitu, cewek itu menggerakkan tubuhnya ke depan, lalu memandangku.

"Temen sekelas Gama dari kelas sepuluh." Dia merapikan rambutnya dengan punggung tegak agar terlihat ... seksi? "Sampai kelas dua belas. Asal tahu aja, ya, meja gue selalu ada di samping meja Gama. Hehe."

Cewek itu memeluk lengan Gama dan Gama langsung menyentakkannya dengan kasar.

"Ini yang gue suka dari Gama. Walaupun kelihatannya kasar gitu, tapi dia perhatian...." Cewek itu memandangku sinis.

Apa dia sengaja? Terang-terangan ingin mengibarkan bendera perang? Argh. Aku sangat kesal. Kenapa Gama tidak menyuruh cewek itu pergi?

"Lo gimana, sih? Jangan merhatin yang lain. Sini." Gama menarik tanganku dan membawaku pergi. Tangan yang memegang es krim dia arahkan menjauh dari sisi tubuhku. Kami ke tempat sampah terdekat dan Gama menyuruhku melepaskan stik es krim itu ke tempat sampah.

Tanganku penuh es krim yang meleleh. Gama menyapunya dengan sapu tangan, lalu membuang sapu tangan itu setelah membersihkan tanganku.

Kulirik cewek yang tidak ingin aku tahu namanya itu. Dia sedang memandang Gama dengan tersenyum. Aku mengernyit. Apa-apaan?

Dia berlari ke arah Gama dan kembali memeluk lengan Gama. "Gamaaa!"

"Apaan, sih? Ganggu aja?" Gama berteriak, kembali berusaha lepas dari belitan rangkulan yang kelihatan erat dari cewek itu.

Aku menarik tanganku dari Gama dan segera pergi.

Sepertinya aku yang tidak siap jika Gama dekat dengan cewek lain.

Cewek itu terlalu agresif, sepertinya. Aku sampai dibuat kesal dengan keagresifanya kepada Gama di hadapanku. Bohong kalau dia tidak tahu aku dan Gama pacaran.

Ya.... Harusnya dia tahu. Aku kan pacar Gama. Gama kan pacarku.

BRAK

Aku tak sengaja menabrak tubuh seseorang pada belokan koridor. Hampir saja aku terjatuh. Aku mundur karena tubuhnya yang keras. Kuangkat pandangan dan melihat seorang cowok yang mendekat dengan wajah rasa bersalah.

"Sori.... Gue tadi lewat buru-buru," katanya, tersenyum kikuk.

Aku menggeleng-geleng dan kembali menunduk saat melewatinya.

"Eh, bentar. Tunggu!" serunya, membuatku mau tak mau menoleh ke belakang. "Gue boleh minta tolong nggak?"

Aku menaikkan alis, bingung.

"Gue anak baru di sini. Kalau lo nggak ada kerjaan...." Cowok itu tampak ragu-ragu. "Bisa bantuin temenin gue keliling STARA?"

Belum sempat aku menolak, Gama muncul di hadapanku dan menyembunyikanku di belakang punggungnya.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang