4

26K 3.1K 74
                                    


Target telah ditemukan?

Apa ini? Pengirim dari nomor yang tak dikenal?

Aku tak mau pusing dan segera menghapus pesan itu dengan segera.

Aku jadi teringat saat SD, teman kelasku mendapatkan SMS dari nomor aneh dan isi pesan yang berantakan tanpa huruf. Dia dan teman-temannya yang lain heboh, menganggap bahwa pesan yang terkirim kepadanya itu berasal dari alien.

Kemudian yang lain ikut heboh dan percaya dengan alasan yang tak berdasar itu.

Pasti ini kejadian yang sama. Hanya dari orang-orang iseng. Atau sesuatu yang mengarah ke penipuan? Mungkin saja nanti akan ada pesan baru dengan sebuah link yang mengarah ke pencurian data-data.

Kuperhatikan sekitar saat melewati koridor ini. Semua fokus dengan ponsel mereka. Bahkan ada yang berjingkrak ceria saat memperlihatkan ponsel satu sama lain. Aku tidak mau penasaran, tetapi pada akhirnya penasaran apa yang membuat mereka terlihat bahagia seperti itu.

Aku juga ingin punya, setidaknya, satu teman tempat untuk saling cerita.

"Minggir! Astaga. Gue tonjok juga lo satu-satu!" Teriakan yang tidak asing. Diiringi teriakan nyaring dari beberapa siswi.

Tanpa sadar, sebuah sugesti itu membuatku ikut menyingkir, menepi ke dinding. Gama muncul menyeret-nyeret kakinya dengan wajah yang menekuk itu. Alisnya yang tebal semakin membuat wajahnya terlihat seperti seseorang yang siap untuk menembakkan senapan dalam peperangan yang sudah menewaskan semua teman seperjuangannya.

Aku bicara apa?

Dia ... memang terlihat seperti seorang tentara. Hanya karena sebuah ekspresi aku mengibaratkannya seperti seorang tentara?

Omong kosong dari mana itu?

Cowok itu duduk di bangku koridor. Bangku koridor paling dekat dengannya adalah yang juga berada tepat di hadapanku. Sejak menyingkir aku memang tidak ke mana-mana selain fokus memandang raut wajahnya yang khas.

Kuperhatikan saksama apa yang dia lakukan. Dia menarik ujung celananya ke atas hingga terlihat sebuah perban yang melilit kakinya yang terdapat bekas darah. Tanpa sadar sekitar menjadi hening. Gama adalah satu-satunya cowok di sana. Dipandangi oleh siswi-siswi yang memandangnya penasaran.

Gama membuka balutan perban putih yang sebagiannya memerah karena darah. Hingga akhirnya, dia memperlihatkan sebuah luka terbuka. Aku membelalak. Suara siswi lain terdengar nyaring. Mereka pasti bergidik ngeri. Namun, mereka bukannya segera pergi malah terus memperhatikan apa yang Gama lakukan.

Sama sepertiku.

Dia menjatuhkan dengan asal perban bekasnya ke lantai. Sepertinya lukanya baru saja terbentur sesuatu hingga kembali trauma. Aku memandang wajah seriusnya yang khas itu. Gerakan matanya berpindah, mengarah tepat ke mataku yang tak sengaja memandang matanya.

Aku memalingkan wajah. Pura-pura tidak melihat dan pelan-pelan kabur darinya.

"Woi, rambut Barbie. Sini lo!"

Hei! Rambut Barbie?! Langkahku terhenti, berbalik memandangnya. Kupegang erat tali tas ranselku sambil merapikan kacamata dan memandangnya tak senang.

"Lo kan yang kemarin ganggu gue?" tanyanya dengan tatapan sinis sambil mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Itu nggak sengaja...." Yah, walaupun niat awalku memang sengaja.

Lagipula, siapa yang lebih dulu mengganggu siapa? Bukannya dia yang lebih dulu mengejek rambutku saat upacara? Bahkan dia berani memegangnya. Padahal kami tidak saling kenal. Dia sok kenal.

"Bantuin gue iket ini cepetan!" serunya. "Atau gue cium lo sekarang."

Hah?

Sial.

Omongannya membuat semua mata tertuju kepada kami. Aku tahu itu hanya sekadar ancaman. Dibandingkan menganggap itu pelecehan verbal, ekspresi wajahnya yang marah tidak membuatku merasa dilecehkan. Wajah itu bahkan tak terlihat ada sisi mesumnya. Aku hanya ingin sekadar menimpuk kepalanya dengan sesuatu sampai dia mengaduh kesakitan.

Namun, itu hanya khayalan. Aku tak mungkin tiba-tiba menimpuk kepalanya. Yang ada, aku akan balik ditimpuk lebih keras.

Nggak mau! Aku ingin berteriak begitu, tapi aku malah melangkah mendekatinya.

"Yang sakit kan kaki lo. Tangan lo masih bisa ngiket," kataku, berenti di dekatnya mengambil perban dan entah apa lagi di tangannya.

Kenapa aku melakukan ini....

"Nggak usah banyak omong. Lakuin aja!" teriaknya. Dia tidak bisa santai, ya? Aku berjongkok di sampingnya seperti seorang suruhan, lalu mulai melakukan perintahnya. "Jangan kenceng-kenceng, bangsa—"

Kurang T.

Aku memandangnya. Dia pasti keceplosan. Aku tahu apa kelanjutannya. Intinya, dia ini manusia dengan mulut yang tidak punya sopan santun. Tapi apa masalahnya? Kenapa tidak lanjutkan saja? Kemarin dia selalu bicara kasar tanpa pikir dua kali.

"Apa?" tanyanya galak, memandangku tajam saat aku masih memandangnya kesal.

Aku lupa satu hal.

Semua memperhatikan kami.

"Mereka ngapain, sih?"

"Lagi parodiin adegan drama kali?"

"Drama apaan? Cewek cupu dan cowok kasar gitu?"

"Gama sebenarnya ganteng, tapi mulutnya astagfirullah...."

"Tapi banyak yang kayak Gama, kok. Malah itu hal biasa. Bukan cuma cowok, tapi cewek-cewek juga. Cuma gara-gara mukanya yang mendukung, dia jadi kayak bapak-bapak mafia. Serem."

Sebenarnya, mereka tidak memperhatikan kami dengan berdiri memperhatikan serius karena momen itu hanya mereka lakukan beberapa menit. Mereka lalu kembali meneruskan aktivitas masing-masing sambil bergosip, menggosipi Gama dan wajahnya.

"Udah, kan?" tanyanya saat aku berdiri setelah menyelesaikan perintahnya.

Hitung-hitung ini ucapan maaf kepadanya karena tak sengaja menumpahkannya jus sekaligus sebagai permintaan maaf karena aku sudah berniat untuk membuat harinya sial.

Dia berdiri. Wajahnya tertekuk saat mengambil malas tasnya, lalu memakainya. Dia berjalan pincang menuju kelasnya, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti. Kemudian berbalik memandangku.

Telunjuk dan jari tengahnya mengarah ke kedua matanya, lalu ganti mengarahkannya kepadaku.

"Lo dan gue belum selesai." Begitu katanya sebelum kembali meneruskan langkahnya menuju kelas kami yang berdampingan.

Ah, aku berharap tidak bertemu dengannya lagi.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang