18

16.6K 2.5K 442
                                    

wallflower

"Ngapain ke sini?" Aku masih terus bertanya dengan perasaan campur aduk. Kaget, sampai aku bingung harus memulai dari mana dan apa yang harus aku lakukan.

Kak Daru memarkirkan mobilnya di parkiran, lalu menoleh padaku. "Ayo, turun," katanya pelan.

Aku berusaha membuka pintu mobil yang terkunci. "Gue mau pulang!" teriakku, tanpa sadar. Aku yakin Kak Daru kaget sampai dia melihat sekitar. "Lo mau ngapain bawa gue ke sini?"

"Check in...."

"Apa?" Mataku memanas. Aku baru mengenal Kak Daru dan segala pemikiran negatif tentangnya mulai menggerayangi kepalaku.

"Gue memang masih 15 tahun tapi gue nggak sepolos itu kalau nggak tahu ngapain ke hotel berdua doang...," kataku dengan suara bergetar. Kak Daru tampak diam. "Buka pintunya. Gue mau pulang!"

"Lo ... mikir apa?" tanyanya pelan. Aku nyaris berteriak lagi jika dia tidak lanjut bicara. "Gue mau pesenin hotel buat keluarga yang baru tiba di Indonesia malam ini. Lo mau ikut buat nyari udara di luar atau tetep di dalam mobil?"

Aku terdiam seketika. Blank.

Kak Daru membuka kunci mobil dan segera keluar. Aku masih terpaku, seperti orang linglung. Kak Daru masih di luar melihat ke dalam mobil. Aku buru-buru keluar dan merasa malu memandang Kak Daru karena telah menuduhnya sembarangan.

"Maaf, Kak," gumamku lirih sembari menunduk dalam-dalam, malu melihatnya. "Gue nunggu di sini aja."

"Oke."

Kulirik Kak Daru yang mengangguk-angguk, lalu dia beranjak pergi. Aku menghela napas panjang, memukul kepalaku beberapa kali. Sejenak aku terdiam, tak apa juga kan aku berpikir berlebihan? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi.

Pilihan untuk waswas lebih baik dibanding tidak sama sekali.

Setelah kejadian ini, aku tidak yakin akan tenang berada di hadapan Kak Daru karena tuduhanku padanya.

Belasan menit terlewati, aku berdiri dengan bosan memandang sekeliling. Kemudian Kak Daru sudah terlihat. Dia sedang berteleponan dengan seseorang, sepertinya keluarganya. Hampir tiba di mobil Kak Daru mengakhiri panggilan itu dan langsung masuk.

Aku tidak mengatakan apa pun. Begitu juga dengan Kak Daru. Sampai dia mengantarku pulang, hanya kata terima kasih yang aku berikan kepadanya dan anggukan tanpa kata-kata yang dibalas oleh Kak Daru.

***

Aku mengempaskan punggungku ke tempat tidur, lalu menghela napas panjang. Tersenyum miris mengingat kejadian tadi. Benar-benar memalukan. Setelah ini kami masih akan bertemu karena aku sudah berjanji akan menjadi model lukisannya.

Aku harus menghubungi Sandra.

Aku tidak bisa memendam kebodohanku ini sendirian. Sandra pasti mengerti dan tak akan membocorkan perihal Kak Daru kepada orangtua mereka, kan? Aku bertindak sebagai pengkhianat kepada Kak Daru, tapi aku benar-benar tidak punya pilihan untuk tetap merahasiakan segala pertemuan kami.

Aku khawatir suatu saat jika tak sengaja Sandra tahu tentang ini, dia akan kecewa dan marah kepadaku. Aku tidak ingin itu terjadi. Lebih baik mengatakan yang sejujurnya sekarang dengan satu syarat, Sandra tidak boleh jail memberitahukan hal ini kepada kedua orangtuanya.

Sebelum kami bicara lewat telepon, aku menanyakan waktu luangnya dulu dan ingin membahas Kak Daru. Sandra langsung membaca dan membalas pesanku cepat.

"Jadi, mau ngomong apa?" tanya Sandra, terdengar sedang bersantai. Aku senang dengan itu. Setidaknya aku tidak mengganggunya.

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang