wallflower
"KAMU!" Mama melangkah cepat menghampiri Gama dan memandangnya penuh amarah. Gama hanya terdiam bahkan saat bunyi tamparan di pipinya memenuhi ruangan ini.
Aku memandang Mama dengan tatapan nanar dan berusaha mendekat, tetapi Mama langsung menepis tanganku dengan kasar.
"Ma, apa pun itu nggak seperti yang Mama pikirin. Gama cuma datang buat minta—"
"DIAM KAMU, MASHA!"
Aku tersentak dan membeku di tempat. Mataku seketika panas.
Mama menyuruh Gama untuk segera keluar dari kamarku. Gama tidak mengatakan apa pun bahkan hanya diam dan menurut. Aku mengikuti mereka, tetapi kunci pintu kamarku diambil dan Mama mengunciku dari luar tanpa mengatakan apa pun.
***
Aku hanya bisa duduk merenung dan tidak ingin gegabah menghubungi Gama. Puluhan menit aku terkurung dan tak bisa ke mana-mana, akhirnya pintu itu dibuka. Aku refleks berdiri dan lagi-lagi pandangan mata Mama memandangku emosi.
"Berani-beraninya kamu bawa laki-laki ke kamar?! Ini yang sering kamu lakuin selama Mama nggak ada? Susah-susah Mama nyari uang demi hidup kamu! Demi sekolah kamu! Kamu seenaknya bawa laki-laki ke rumah!"
Leherku tercekat. Pandanganku mengabur. "Ma..., enggak. Baru kali ini Gama ke kamar aku dan Gama cuma—"
"Selain sering selundupin laki-laki ke kamar kamu juga jadi gampang bohong, ya?" Mama berteriak emosi, telunjuk Mama terus mengarah padaku, membuat dadaku semakin sesak apalagi saat melihat raut wajah kecewanya. "JAWAB MASHA JANGAN CUMA NANGIS!"
"AKU NGGAK BOHONG! AKU UDAH BILANG AKU NGGAK BOHONG!" Aku meledak sampai rasanya sakit sendiri.
"Kamu pikir Mama percaya, hah? SIAPA YANG SUDAH NGINEP DI RUMAH ANAK BAJINGAN ITU? KAMU PIKIR MAMA NGGAK TAHU KAMU PERGI KE RUMAH SIAPA SEMALAM? MAMA NGIKUTIN KAMU, MASHA!"
Aku salah. Aku benar-benar salah. Dan aku tidak bisa mengatakan apa pun selain menangis.
"Mama nggak suka ya kamu deket sama cowok yang nggak beres!"
Aku merasa hancur.
Bagaimana rasanya seseorang yang selama ini tidak pernah marah, berubah dalam sekejap? Aku tidak bisa melupakan saat Mama berteriak di depan wajahku. Aku mencium bau alkohol dari mulut Mama. Mama mabuk? Fakta itu membuatku sakit hati. Dan ... aku hanya menjadi anak cengeng, tak tahu harus melakukan apa.
***
"Iya. Iya, bener. Sweet seventeen Masha sudah lewat, loh. Tapi Masha-nya nggak mau adain pesta. Padahal saya seneng-seneng aja bikinin acara. Hahaha. Iya, anaknya pendiam. Lebih suka di kamar daripada jalan sama temen-temennya."
Aku duduk di luar kamar Mama. Bersandar di dinding sambil melamun. Pintu kamar Mama yang setengah terbuka membuatku bisa mendengar apa yang Mama katakan kepada koleganya lewat panggilan telepon.
Aku ingin minta maaf. Aku ingin mengobrol banyak hal. Kapan kami mengobrol santai? Entah. Tak pernah. Mungkin saat Mama mengajakku bicara ketika aku masih bayi.
"Iya? Johan...? Serius? Wah, saya nggak nyangka anak setampan Johan tertarik sama Masha. Alah, biasa lah, Bu. Namanya juga anak muda."
Aku mengernyit.
"Boleh banget! Masha juga belum punya pacar. Mereka cocok! Gimana jadinya nanti kalau beneran jadi? Astaga, beneran? Ide bagus. Masha pasti juga langsung jatuh cinta sama cowok setampan dia. Boleh, boleh. Kapan waktu yang baik untuk ketemu, ya?"
"Mama apa-apan, sih? Aku nggak mau ketemu sama siapa-siapa!" Setelah mendengar percakapan Mama, aku langsung berdiri. Tidak terima dengan apa pun yang menjadi pembicaraan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...