24

17.5K 2.8K 706
                                    

wallflower

Aku hanya duduk diam sendirian di meja luas yang kosong. Tak ada yang berani mendekat setelah Gama berteriak lantang untuk tidak mengambil tempatnya.

Setelah aku mengatakan tidak ingin memakan apa pun selain makanan bungkusan karena malas mengantre, Gama mengatakan akan memesan dua sekaligus dan langsung pergi. Tak membiarkanku ikut dengannya. Dia fokus dengan aktivitasnya sampai tak melihat apa yang terjadi beberapa detik setelah dia pergi.

Kak Naufal dan Kak Samuel duduk di sisi kiri dan kananku, mengapitku, hingga aku tak bisa bergerak karena shock.

Mereka mencomot gorengan yang ada di meja, memakannya sambil berbicara. Aku tidak tahu mereka mengatakan apa. Aku tidak fokus. Tidak tenang dan terus melihat ke arah Gama yang sama sekali tak menoleh ke arah sini sementara antrean masih panjang.

"Sebenarnya dari dulu gue mau deketin lo, tapi lo tahu nggak apa yang lebih seru?" Kak Samuel berbisik di dekatku, membuatku sangat tidak nyaman dan hanya bisa terdiam kaku. Baik dia maupun Kak Naufal tertawa. "Ngelihat bocah kemarin sore marah-marah karena mainan-nya direbut."

Aku hanya bisa terdiam.

Bocah kemarin sore itu ... Gama? Dan mainan yang mereka maksud adalah ... aku?

Aku tidak tahu ada hubungan apa di antara mereka. Teman satu ekskul? Atau? Entah. Kata-katanya sangat tidak enak didengar.

BRAK. Sebuah nampan makanan dijatuhkan ke atas meja. Tak sampai membuat isi makanannya tumpah. Aku menaikkan pandangan melihat wajah orang yang baru saja melakukan itu. Si tanpa kacamata yang saat ini tidak memakai kemeja sekolah, melainkan kaos hitam. Terlihat sangat mencolok di antara siswa-siswa lain. Lagipula, dia juga sudah mencolok karena ini kantin bagian kelas X.

Kak Arjuna.

Dia duduk di kursi yang berhadapanku dan langsung memakan makanannya dengan lahap.

"Permainan udah selesai, kan?" Di tengah-tengah keterdiamanku, Kak Naufal menanyakan itu entah apa yang dia maksud.

"Belum." Kak Arjuna bicara, menunjukkan bahwa pertanyaan yang Kak Naufal katakan sebelumnya ditujukan kepada Kak Arjuna.

Kak Arjuna menurunkan sendoknya. Dia berhenti makan saat tatapannya mengarah ke mataku. "Tinggal satu tahap lagi."

Aku merasakan Kak Naufal dan Kak Samuel. Dari ekor mataku, mereka pergi menjauh. Aku tidak tahu ada apa, tapi mataku terperangkap ke dalam sepasang mata Kak Arjuna.

Aku langsung berpaling, lalu pandanganku tertuju pada Gama yang sedang berdiri kaku di tepi meja. Tatapannya mengarah kepada Kak Arjuna dengan tajam

Kak Arjuna menoleh kepada Gama dan menggerakkan dagunya. "Duduk. Mau makan bareng, kan?"

Gama hanya menggeram kesal sambil menarik tanganku. Dia membawaku ke meja yang agak jauh dari meja tadi. Di tempat itu sudah ada dua makanan yang tersedia.

"Kalau ketemu sama dia sekali lagi, mending lo kabur," kata Gama sambil memandangku, masih terlihat kesal.

"Kenapa...?"

"Dia iblis."

***

Aku sangat mengantuk. Rasanya ingin cepat-cepat tiba di kamar, tidur sepuasnya. Namun, Pak Ridwan masih di perjalanan karena terkena macet. Sebelumnya memang sedang mengantar Mira ke rumah temannya.

Gama? Dia sedang ada pertemuan dengan pelatih karate. Aku masih ingat wajah malas dan langkah tidak minat saat dia memaksa diri untuk ke ruangan yang dia tuju, meninggalkanku sendirian di kelas ini.

Apa yang aku lakukan adalah bermain game puzzle. Ketenangan itu tidak berlangsung lama. Seorang cowok yang berdiri di ambang pintu memaksaku untuk meliriknya.

Aku langsung memalingkan tatapanku kembali ke ponsel. Perasaanku tidak tenang. Berakhir tidak bisa fokus apa pun. Aku berhenti bergerak ketika dari ekor mata, kulihat dia berjalan mendekat.

Kuangkat pandanganku berusaha terlihat tenang padahal sejujurnya aku tidak tenang. Aku menarik tasku, memakainya asal, dan segera melangkah buru-buru.

Namun, aku tidak berhasil pergi.

Kak Daru berhasil memegang tanganku dan tidak mau melepasnya.

"Lepas!" seruku, tertahan.

"Lo belum ngelaksanain perjanjian lo," katanya, sangat santai. Seolah apa yang dia lakukan kepadaku bersama Sandra adalah hal yang tidak masalah bagiku.

"Model? Setelah apa yang terjadi? Emang lo pikir gue masih minat?" cibirku.

"Jangan jadi kayak gini," katanya, membuatku memandangnya tak habis pikir sampai mulutku nyaris terbuka saking herannya. "Gue kan bilang rambut lo lebih cocok dikepang."

"Ya, terus?"

"Unik aja."

Aku sangat muak sampai rasanya ingin melempar wajahnya dengan sepatuku. Tak mau peduli, aku mengambil kesempatan menyentakkan tangannya hingga genggamanya di pergelangan tanganku terlepas.

Aku melangkah pergi. Ingin ke ruangan Gama dan menemuinya sesegera mungkin.

"Masha, gue suka sama lo."

Kata-kata itu berhasil membuatku berhenti. Aku berbalik memandangnya.

Dia benar-benar tidak punya hati. Setelah apa yang dia lakukan kepada Sandra?

Aku tebak itu bagian dari rencananya bersama Sandra?

"Gue tahu lo suka sama gue, kan?" tanyanya kepedean.

Aku milik Gama dan dia seenaknya mengatakan itu?

Benar-benar gila.

"Masha, dengerin gue. Gue bakalan mutusin Sandra, tapi gue butuh waktu untuk itu," katanya tidak tahu malu. "Setelah itu, kita bisa pacaran."

Keparat. Memangnya dia siapa?

Sejak tadi aku berdiri kesal di sini hanya untuk mengeluarkan kata-kata kasar untuk meluapkan kekesalanku, tetapi aku tidak bisa mengeluarkan kata satu pun.

Menjijikan. Benar-benar menjijikan melihat wajah tanpa dosa yang mengatakan kalimat itu.

Aku memang membenci Sandra yang telah berbohong, tetapi jika aku mau menerima penawaran Daru untuk membalas dendamku sudah sejak tadi aku menerima penawaran menjijikkannya itu.

Kata-kata bullshit yang keluar dari mulutnya itu membuatku rasanya ingin menampar wajahnya sekarang juga, tapi saking jijiknya aku bahkan tidak ingin menyentuhkan kulitku ke wajahnya.

Setelah apa yang dia lakukan kepada Sandra, dia berpaling begitu saja?

Gila. Cowok gila. Lupakan tebakanku sesaat. Bagaimana perasaan Sandra jika mendengar kalimatnya barusam?

"Gimana?" tanyanya pelan. Aku hanya memandangnya heran, lalu pergi dari sana dengan buru-buru.

"Ah. Lo beneran pacaran sama Gama?"

Aku lagi-lagi berhenti.

Langkah sepatunya terdengar mendekat. Aku berbalik dan menjaga jarak.

Dia tersenyum tipis, tapi itu terlihat menyeramkan.

"Berarti siap-siap lo akan denger fakta yang sebenarnya." Dia menaikkan alis. "Lalu lihat apa yang terjadi? Lo tetep bertahan sama dia atau justru ... menjauh karena benci?"

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang