wallflower
Aku suka mengumpulkan komik-komik lama, menonton film-film western, ke bioskop sendirian, dan ... aku tak punya teman.
Sebenarnya aku senang larut dalam kesendirian, tetapi terkadang jika aku melihat beberapa anak perempuan berjalan bersisian menceritakan sesuatu, terbersit keinginan untuk seperti mereka.
Bagaimana rasanya melakukan banyak hal dengan teman-teman sebaya?
Sampai di umur 15 tahun, aku tak pernah punya teman. Eum, tepatnya sahabat?
Teman ada banyak. Teman kelas, teman sekolah, dan teman kompleks bermain—beberapa tahun lalu—sebelum umurku 10 tahun.
Teman dekat? Aku tidak pernah punya teman dekat.
Aku terkadang iri saat melihat kelompok anak perempuan berseragam sekolah sedang berkumpul di lorong sekolah menceritakan sesuatu yang kelihatannya sangat seru.
"Lihat, tuh. Cowok-cowok yang dihukum sama senior, kan, waktu MOS?"
Mereka ada lima orang dan dilihat dari emblemnya mereka masih kelas X, seangkatan denganku. Aku tak sadar berhenti di dekat mereka dan ikut melihat arah telunjuk siswi tadi. Cowok yang jalannya tertatih sepertinya baru tiba karena tas yang masih di punggungnya sementara di sampingnya berjalan cowok lain yang sepertinya sudah tiba sejak tadi karena tak ada tas di punggungnya.
Perbedaan mereka mencolok. Satunya memakai seragam sekolahnya dengan rapi, satu lagi berantakan; kaos hitam yang terlihat di balik kemejanya yang kancing atasnya terbuka juga kemeja yang tidak berada dalam lingkar celana abu-abunya.
"Iya, katanya berantem gitu sama senior kelas XII. Ketahuan sama kakak pembina."
"Itu yang kakinya lagi pincang Gama bukan sih namanya?"
"Iya, segugus gue, tuh. Dia suka bikin ulah di kelas, nggak mau nurutin perintah kakak pembina, tapi ... kok gue jatuh cinta, ya?"
"Gampang ya bilang jatuh cinta asal ganteng."
"Haha! Bener banget. Dasar."
"Yang pakaiannya rapi itu lebih ganteng tahu? Dari gugus 2!"
"Namanya Sean!"
"Gantengan Gama, ah."
"Girls! Mereka sekelas sama kita!"
"Serius? AAAK!"
Lalu, yang tadi berteriak berhenti berteriak saat memandangku. Mulutnya sontak tertutup rapat dan kegembiraan sirna dari wajahnya.
"Cepetan ke lapangan!" serunya, menarik dua tangan temannya yang bisa dia raih.
Aku berjalan lunglai. Dia wajar kabur. Aku memandangnya sambil menyengir lebar dan memperlihatkan behelku yang berwarna hitam. Aku jadi terlihat aneh di mata mereka.
Argh. Sial. Aku membuat satu kesalahan yang membuat orang lain menjauh.
Saat SD kelas 1 aku sering diejek oleh murid lain. Aku tidak tahu kenapa. Padahal aku tak berbuat kesalahan, tak pernah mengganggu mereka, dan hanya duduk di bangku, belajar dengan baik. Saat istirahat pun aku hanya di bangku memakan bekalku. Makanya, kelas 2 SD dan seterusnya aku selalu memilih bangku paling belakang.
Kenapa aku selalu tidak punya teman?
Mungkin karena aku tipe introver yang terlalu pendiam, terlihat sulit bergaul makanya tak ada yang mau berteman denganku?
Mungkin karena aku culun, tak tahu cara berpenampilan yang menarik?
Rambutku selalu dikepang dua ala gadis tahun 80-an, tapi aku suka. Poni rata dengan alis, aku juga suka. Kacamata besar yang tersangga di hidung. Pakaian longgar yang kata teman kelasku—saat kami ingin membeli peralatan praktek seni ke mal—beberapa bulan lalu sebelum kami menjadi siswi SMA, 'Lo serius mau pakai baju ... itu?' tanyanya, memandang aneh gaun longgar selutut bermotif bunga-bunga kuning yang aku pakai. Behel yang sudah ada sejak tiga tahun lalu karena aku punya gingsul dan mama ingin gigiku rapi. Gingsul itu memang agak mengganggu.
Ini hari pertamaku di SMA setelah dua hari menjalani pra MOS dan tiga hari dalam Masa Orientasi Siswa. Aku tidak tahu akan duduk di bangku mana nantinya, tetapi sepertinya aku akan duduk paling belakang karena aku datang tepat bel berbunyi.
Siswa-siswi sedang berlarian ke lapangan upacara. Aku masih berjalan di koridor mencari di mana letak kelasku berada. Seseorang menyenggol bahuku, lalu dia yang hampir terjatuh. Aku hanya sedikit oleng dan menoleh.
Siswi berambut hitam di bawah bahu itu menatapku sambil berdecak. Tatapan sinisnya mengarah padaku hanya sebentar, lalu dia berlari mengejar seorang siswi di depan sana sambil memanggil-manggil namanya.
Ah, penampilannya sangat berbeda denganku. Pasti dia punya banyak teman.
Apa aku berpenampilan seperti cewek pada umumnya saja?
Atau aku menjalankan rencanaku saja?
Istirahat nanti aku ingin mencari target untuk membuat keributan agar aku ... bisa mendapatkan perhatian. Sebenarnya aku gugup dan gemetar saat ide itu mulai muncul di kepalaku. Aku memikirkan ide itu setiap malam, selama lima malam berturut-turut.
Apakah dengan mengacau di sekolah, hidupku akan berubah 180 derajat?
Orang-orang tidak pernah mengira isi kepala si pendiam. Kami berani berbuat ulah hanya dalam khayalan karena kami tak suka mencari keributan.
Akan tetapi, bagaimana jadinya jika aku mencari keributan dengan orang lain? Bagaimana rasanya? Memikirkannya saja sudah membuatku lelah. Lelah jika harus berhadapan dengan masalah.
Siapa yang akan menjadi sasaranku nanti?
Cewek?
Atau cowok?
Oh, ya. Kenalkan, aku Masha.
Hari ini kisahku dimulai di STARA.
***
NOTE:
setelah berbagai pertimbangan akhirnya post juga di wattpad @.@
.
Ada yang kangen Gama?
Sampai ketemu di part selanjutnya!!
thanks for reading!
love,
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...