"Bersihin semuanya!" teriak Gama, yang membuat suasana kantin semakin hening.
Salah satu dari temannya menepuk pundak Gama, lalu menariknya pelan ke belakang. "Lo kayaknya butuh minum. Emosi mulu. Jangan kasar-kasar lah sama cewek. Dia nggak ada salah juga lo semprot."
Cowok lain memandangku. Cowok yang bersama Gama pagi tadi yang dibicarakan siswi-siswi lain. "Dia emang gini. Sori, ya."
"Kalian pada kenapa?" Gama menyentakkan tangan temannya. "Sana kalian semua. Woi! Ck!" Gama pergi, ditarik paksa oleh kedua temannya menjauh dariku.
Aku menghela napas. Siapa tadi yang katanya ingin mencari keributan di kantin?
Setidaknya aku tidak perlu larut dalam penyesalan dan terbebani karena saat aku melangkah mendekati Gama, aku ingin menuruti perkataannya untuk mencari aman—yang aku juga tak tahu kenapa berpikir begitu. Bukan karena ingin dengan sengaja menumpahkan jus ke bajunya.
Andai dia tak perlu berjalan mendekat. Tabrakan itu tak seharusnya terjadi. Jus itu seharusnya tak tumpah ke kemejanya.
Tapi, sudahlah. Jus saja kesal pada keangkuhan cowok itu.
Apalagi aku?
***
Pulang sekolah aku langsung disambut dua asisten rumah tangga yang mengurusku. Dulunya, mereka adalah baby sitter sejak aku bayi. Mbok dan Bibi. Bibi berjalan di sampingku bersama-sama menuju kamar. Sementara Mbok mengambil botol minumanku, mengisinya ke dapur.
Aku mulai tak nyaman dengan ini. Mama selalu mengurusku lewat perantara, dengan membiarkan Mbok dan Bibi bekerja selama belasan tahun di rumah ini. Aku sudah besar dan selalu diperlakukan seperti anak perempuan berumur di bawah 8 tahun.
Adikku yang masih duduk di bangku kelas 6 SD, Mira, juga memiliki asisten pribadi satu orang. Rumah orangtuaku sangat besar. Ada bangunan utama yang menjadi tempat tinggal aku, Mira, dan kedua orangtuaku. Ada juga bangunan khusus yang menjadi tempat tinggal para asisten rumah tangga, tukang kebun, sopir. Mereka yang masih keluarga boleh berada di bangunan yang sama. Sementara yang lain dipisahkan sesuai genre.
Dulunya, aku berpikir mengapa aku anti sosial; karena rumah ini sangat luas dan ada juga halaman yang terurus. Jika ingin berenang, maka cukup ke kolam renang. Rupanya luas tidaknya rumah ini, lengkap kurangnya fasilitas tak berpengaruh. Aku tetap lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Hanya sesekali ke bioskop menonton film yang aku minati.
"Coba lihat, Sha. Kalau rambutnya diurai gini jadi makin cantik," kata Bibi. "Masha jadi terlihat berkali-kali lipat seperti Putri kerajaan."
Kalimat itu bukan yang pertama kalinya diucapkan Bibi kepadaku. Aku memandang wajahku yang datar lewat cermin rias. Poni yang rata dengan alis, rambut yang berkelombang karena terus dikepang. Kalau aku memotong rambutku pendek pasti akan seperti dora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionSELESAI ✔️ "Bersihin semua barang gue yang lo kotorin!" serunya, memandangku dengan mata elangnya. "Sekarang juga, B-ngs-t!" Semua bermula dari ucapannya kepadaku di kantin sekolah, tepat pukul 10.40 a.m. Dia Gama Mahardika. Dan perkenalkan, aku Ma...