27

16.5K 2.7K 318
                                    

wallflower

"Lepas!"

Aku menyentakkan tanganku sendiri, tapi bagaimana pun usahaku untuk lepas darinya, Gama tetap lebih kuat. Dia akan tetap memegangku selama dia tidak berniat untuk melepasnya.

Harusnya aku tidak perlu heran. Gama orang paling kasar yang pernah aku temui. Bukan hanya mulutnya yang kasar, tetapi perilakunya yang bahkan tidak segan melukai perempuan.

Dan aku sangat benci itu.

"Kenapa lo gitu? Kenapa lo segitunya sampai lempar bola ke cewek? Lo pikir nggak sakit? Itu sakit!" teriakku tertahan. Dia berhenti ke tempat yang tidak ramai dan memandangku dengan kernyitan di dahi.

"Lo malah ngebela dia? Tadi dia lempar lo dengan entengnya dan lo malah ngebela dia sekarang?"

Aku mendengkus. "Ini bukan tentang gue yang ngebela dia, tapi lo. Lo yang kasar banget jadi cowok."

"Ya udah, sih? Dia bukan bayi yang kalau dilemparin bola bakalan penyet."

"Astaga." Aku memandang Gama tak habis pikir. "Gue nggak suka orang yang kasar."

Gama langsung terdiam.

"Ngomong kasar aja gue nggak suka. Apalagi main fisik ke cewek?"

Dia berdecak. "Iya, gue nggak bakalan main fisik lagi ke cewek mana pun."

"Lo nggak bakalan main fisik lagi ke cewek mana pun, ya?" Aku curiga dia tidak niat. "Karena apa?"

"Karena lo."

"Perbaiki niat lo dulu." Aku menarik tanganku yang akhirnya terlepas dari genggamannya. "Jangan ikuti gue hari ini. Gue males lihat muka lo terus."

"Masha." Gama menarik tanganku. Lagi-lagi aku tidak bisa melepasnya. Aku berdecak saat menoleh padanya. "Gue bakalan nurutin apa pun yang lo minta tapi satu...." Alisnya bertaut. "Jangan pernah minta gue untuk menjauh dari lo. Karena gue nggak bakalan nurutin itu."

***

Aku akan mengikuti alur, mengikuti sampai mana Gama akan terus di sampingku.

Cukup sulit berada di dekatnya terus. Kekecewaanku kepadanya membuat semua situasi jadi sangat bertolak belakang. Aku tidak lagi bisa merasakan rasa nyaman saat bersamanya, selain hanya kekesalan yang tidak bisa aku lampiaskan dengan cara yang aku mau.

Memukulnya sampai dia mampus. Itu tidak akan terjadi. Yang ada, aku yang akan lelah memukulnya.

Tanpa aku suruh, tanpa aku minta, dia yang memesan makanan tanpa membiarkanku berdiri dari tempat ini. Dia hampir saja semena-mena kepada siswa lain dengan menyuruh siswa itu mengantre, tetapi saat melihat wajah tak terimaku, dia langsung pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Meninggalkan siswa tadi yang kebingungan harus melakukan apa. Untungnya dia paham situasi, lalu kembali ke tempat duduknya.

"Hai."

Aku melirik seseorang yang baru saja duduk tepat di hadapanku. Dia tidak asing. Apa mungkin teman sekelasku?

"Lo jadi temen sekelompok gue. Tadi lo nggak masuk kelas. Nggak ngebales chat gue juga. Jadi kebetulan gue lihat di sini jadi gue samperin."

"Chat?" Aku mengerutkan kening.

"Di LINE."

"Oh...." Aku tidak melihat ponselku setelah membuat keributan di grup.

Saking jarang berinteraksi dengan teman-teman sekelasku, aku jadi tidak tahu siapa namanya. Saat melihat ke tanda pengenal di kemeja, tidak ada nama yang tercantum di sana selain bekas jahitan nametag yang sepertinya sudah dicabut.

Apa dia yang duduk dibangku kedua dekat jendela? Yang sering tidur jika sempat sekalipun ada guru yang sedang mengajar? Dia terlalu mencolok dilihat dari bangku belakang.

"Tugas apa?" tanyaku pelan. Dan canggung.

"Biologi. Untuk presentasi minggu depan. Tugasnya nggak banyak makanya cuma dua orang dalam satu kelompok."

"Oke, nanti lanjut di kelas aja atau ... lewat chat." Karena aku merasakan atomesfor yang berbeda dari satu menit yang lalu. "Gue males di LINE, mau lewat WA aja?" Aku jujur. Karena aku sudah membayangkan mungkin ada orang lain yang mengirimkan pesan pribadi lagi karena kehebohan itu.

Gama duduk tepat di samping cowok itu membawa pesanan kami.

"Oke, kalau gitu. Selamat makan," katanya kedengaran ramah.

"Siapa?" Gama memandangku dengan mengernyit.

"Temen sekelas." Aku menjawab malas sambil menerima nampan yang Gama sodorkan. "Temen sekelompok." Aku kembali melihat raut wajah Gama yang berubah.

"Maaf," katanya tiba-tiba. Terlalu tiba-tiba sampai aku kaget mendengarnya. Ah, atau mungkin karena dia terlambat mengatakan itu?

"Maaf kenapa?"

"Gue cuma mau minta maaf sama pacar gue atas semua yang gue lakuin hari ini." Dia menaikkan alis, memandangku lekat-lekat. "Kita belum putus, kan?"

Benar....

Memang belum ada kata putus.

Aku ... belum mau putus.

***

Aku menjadikan lenganku sebagai bantal. Aku ingin tidur saja. Ada yang ingin ketua kelas beritahukan kepada kami.

Aku hanya heran mengapa ketua kelas tidak mengusir Gama yang sudah beberapa kali ini menetap di kelas kami?

Sejak Sandra melapor ke guru tentang keberadaan Gama di kelas ini, tak ada lagi yang berani melaporkannya. Bahkan Sandra tidak lagi mau mengatakan apa pun. Aku sampai malas menyuruh Gama kembali ke kelasnya.

Aku tidak tahu apa yang membuat siswa-siswi lain jadi menghindar ketika melihatku. Apakah karena terlalu ilfeel dengan segala kata-kata narsis yang aku kirim ke grup angkatan yang sudah menyebar dengan cepat itu atau karena tragedi Gama yang melempari bola kasti kepada teman Sandra yang adalah seorang perempuan?

Aku bisa merasakan perbedaan itu. Perbedaan hari ini dengan hari sebelum-sebelumnya. Aku yang seperti hidup dalam duniaku sendiri kini semakin hidup terasa lebih dari itu. Seolah orang-orang di sekelilingku hanyalah tontonan TV yang aku biarkan menyala.

"Dengerin semuanya. Jangan berisik dulu!" Ketua kelas mengetuk papan tulis dengan penghapus. Aku tidak berniat untuk menegakkan punggung dan lebih memilih mendengarkan dengan tenang.

"Jadi, bakalan ada persami dan semua wajib ikut."

Kudengar semua bersorak senang.

Aku jadi sedih mendengar keramaian itu. Apa aku saja yang terlalu takut bersosialisasi?

"Kalau ada orangtua yang nggak izinin, pengurus bakalan turun langsung untuk minta izin."

Semua sibuk berbincang. Aku melihat Gama yang juga melakukan hal yang sama dengan aku lakukan. Sehingga kami saling pandang.

"Lo mau ikut?" tanyanya.

"Iya. Bosan di rumah."

"Nanti jangan jauh-jauh, ya. Biasanya ada yang kesurupan kalau persami, kan? Lo kan sering sendirian."

Aku melihat Gama dengan heran. "Maksud lo nanti gue bisa kesurupan?"

"Ya, maksud gue. Aduh. Bukan gitu."

"Terus apa kalau maksud lo bukan itu?"

"Ya, intinya jangan jauh-jauh dari gue," katanya sangat pelan. "Kalau lo sendiri. Bahaya."

Aku tidak tahu bahwa dari perkataannya bukan sekadar keinginan untuk tidak ingin jauh dariku, tetapi juga sebuah peringatan yang terselip.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang