Seminggu kemudian, Eren sudah duduk manis di kursinya. Telinga disumpal dengan headset dan matanya fokus membaca novel milik Mikasa yang baru saja ia pinjam tadi pagi, tepat sebelum berangkat sekolah. Di sampingnya ada Armin yang asik mengobrol dengan Mikasa.
Beban di bahunya terasa lepas begitu saja. Tidak perlu latihan sampai sore, tidak perlu menghafal banyak kalimat dan tidak perlu mencoba make up lagi. Eren juga masih ingat dengan jelas saat dirinya diikat di kursi dan mulutnya ditutup menggunakan lakban oleh Reiner dan Berthold hanya agar wajahnya bisa dirias. Lalu setelah dirinya tak bisa berbuat apa-apa, barulah tangan Hanna dan Mina menari-nari di wajahnya dengan make up. Rasanya Eren ingin menangis dan berteriak saat mereka melakukan tindak kejahatan itu terhadap wajahnya, namun apa daya, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali pasrah. Kalau mengingat itu, ia masih merasa kesal namun itu juga yang akan menjadi kenangan indah semasa bersekolah di SMA Shingeki.
“Hai Eren, baca buku apa?” tanya Historia saat menghampiri cowok itu.
“Ini, novelnya Mikasa,”
“Oh. Ini novelnya kurang bagus. Masa' tokoh utamanya mati? Kan gak asik jadinya,”
“Eh? Gitu?” alis mata Eren naik sebelah.
“Iya, si tokoh utama cewek suka sama si tokoh utama cowok. Tapi si cowok ini malah dibuat mati sama penulisnya sendiri, jadi si cewek ini nikahnya sama tokoh figuran, gak asik 'kan. Tapi entah kenapa malah banyak orang yang suka, padahal udah jelas-jelas endingnya mengecewakan,”
Mikasa hanya diam dan memasang wajah datar namun ia sedikit terkejut dengan kejujuran Historia. Dia tahu seleranya Historia pasti tinggi, tapi ia tidak suka mendengar novel romantis yang sudah ada label best seller malah dihina seperti itu.
“Eren, kalau kau ingin membaca novel romantis kau bisa meminjam punyaku,”
“Benarkah?” tanya Eren yang terlihat sangat tertarik. Ia lantas mengembalikan novel Mikasa yang belum selesai ia baca, bahkan di halaman keduanya. Padahal itu adalah novel yang sangat bagus, lalu dikembalikan begitu saja tanpa tahu endingnya seperti apa.
Benar, seseorang bisa terpengaruh hanya karena mendengar ucapan yang belum jelas kebenarannya.
***
Bel istirahat sudah berbunyi dan Mikasa ingin mengajak Eren untuk ke kantin bersama-sama. Namun begitu ia melihat Eren sibuk mengobrol dengan Historia, ia jadi sedikit ragu untuk mengajak cowok itu. Semenjak festival, kedua remaja itu menjadi sangat dekat, bahkan sangat dekat dibandingkan dirinya dengan Eren.
Mikasa mengakui kalau Historia memiliki wajah yang cantik, lembut dan menawan, semua orang dekat dengannya. Mikasa melihat Eren dengan ekor matanya, walaupun tidak terlihat jelas, ia bisa melihat Eren tertawa lepas saat bersama Historia. Bahkan Eren saja tidak pernah sampai seperti itu saat bersama dirinya.
“Hei Mikasa, ayo ke kantin,” ajak Sasha yang memutar tubuhnya ke belakang, menatap Mikasa yang masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Di kantin katanya ada menu baru, ayo kita ke sana, sebelum menu barunya habis,” sambung Connie.
“Ayo,” Mikasa menyetujui.
“Apa kita gak mengajak Eren?” tanya Armin.
“Gak usah, dia sekarang lagi sibuk,” jawab Mikasa yang raut wajahnya terlihat murung.
Mikasa pergi begitu saja, ia tidak ingin terlalu lama berada di sana. Melihat Eren dan Historia sudah membuat mood-nya semakin buruk. Sasha yang merupakan teman dekat Mikasa pasti tahu apa yang dirasakan gadis itu, cemburu melihat orang yang dicintainya dekat dengan yang lain. Tapi, Mikasa sendiri sudah sering menyangkal kalau ia tidak cemburu, namun mulut dan hatinya menunjukkan pernyataan yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion ✓
Random[Book One] [Complete] Ikuti alurnya, seperti Dandelion yang tidak pernah memprotes ke manapun angin membawanya pergi. Di depan semua orang ia mengakui bahwa dirinya menyukai Eren Jaeger sebagai keluarganya namun jauh di dalam relung hati terdalam ia...