Eren mendengus. Dia merasa bosan karena tidak bisa melakukan apapun di rumah sakit selain tiduran di ranjang dan rutin pemeriksaan setiap harinya. Dia ingin pergi keluar, tapi Mikasa bersikeras melarangnya. Dia tidak tahu apa tujuan Mikasa melarangnya, yang pasti Mikasa akan marah besar kalau dia melanggar.
Di meja di sampingnya juga ada amplop berwarna putih, tidak ada nama pengirimnya dan tersegel rapi. Sebenarnya, dari sebelum Eren bangun, surat itu sudah ada di sana dan tidak ada seorangpun yang menyentuhnya. Carla bilang, surat itu untuk Eren tapi Eren paling malas kalau disuruh membaca surat yang sama sekali tidak jelas usulnya itu.
“Hai Eren, aku sudah datang,” sapa Mikasa sembari membuka pintu ruangan itu. Eren yang sedang bermain game di ponselnya langsung meletakkan benda itu di meja di samping tempat tidurnya.
Mikasa masuk kemudian duduk di sebelah Eren, dia mengeluarkan bekal makanan yang ia bawa dan memberikannya ke Eren. “Aku tau makanan rumah sakit rasanya hambar jadi kubawakan kau makanan yang kumasak sendiri. Aku gak tau sih, masakanku bakalan cocok atau enggak di lidahmu, tapi semoga kau menyukainya,” harap Mikasa yang tersenyum manis dan memberikan bekal makanan itu ke Eren.
Eren terlihat bahagia menerimanya, pasti masakan calon istrinya itu mengalahkan masakan hotel bintang 5 yang pernah dia kunjungi di Liberio. “Makanan apapun yang kau buat pasti aku suka,” Eren pun membuka bekalnya dan memperlihatkan ada steak daging, telur mata sapi, 2 potongan tomat, potongan-potongan wortel, 1 buah apel, dan 2 roti sandwich.
“Mikasa, suapi aku,” pinta Eren yang bersikap manja.
“Suap sendiri,”
“Gak mau, maunya disuapi,”
“Eren, kau sudah berumur 24 tahun, masa' masih mau disuapin? Gak malu sama Ovi yang makannya udah gak disuapin lagi?” tanya Mikasa yang mengambil kembali bekal itu.
“Apa salahnya disuapi sama calon istri sendiri? Hitung-hitung latihan, supaya kalo kita udah nikah nanti kamu enggak gugup. Soalnya nanti aku bakalan sering-sering minta kamu lakukan ini,”
“Dasar manja,”
“Manja ke istri sendiri 'kan gak apa-apa,”
Wajah Mikasa memerah dan terasa panas, jantungnya berdegup kencang hingga ia khawatir suara degupannya sampai terdengar. Eren selalu saja berhasil membuatnya seperti ini. Mikasa pun memotong daging steak itu lalu memasukkannya ke mulut laki-laki itu. Eren yang tinggal membuka mulut dan mengunyah makanannya pun wajahnya ikutan memerah dan takut kalau dia sampai salah tingkah.
Sejenak atmosfer di sana menjadi canggung dikarenakan dua insan sedang tidak bisa saling bicara dan kalau bicara pasti suara yang akan keluar terdengar bergetar, sesuai dengan irama detakan jantung mereka yang kencang.
“Eren, tadi aku sudah menelpon teman-teman kita, jadi nanti sore mereka akan datang,”
“Oh baguslah, aku merindukan mereka semua,”
**********
Sore ini, ruangan Eren diramaikan dengan kedatangan Jean, Armin, Connie dan Colt. Begitu Mikasa sudah memberitahu mereka, lantas Jean lah yang paling semangat untuk kembali mendatangi rumah sakit. Bukan semangat karena Eren sudah sadar, melainkan ia ingin segera mengata-ngatai sahabatnya itu.
Ruangan Eren yang semulanya tenang seperti kuburan kini mendadak ramai saat Jean membuka kasar pintu ruangannya, mengejutkan Eren dan Mikasa. Eren berkedip beberapa kali saat melihat ekspresi wajah Jean yang tidak biasa, seperti wajah-wajah ingin mengajak berkelahi.
“Oi Eren, lo bermimpi apa sampai sebulan lo gak mau bangun, hah?! Apa lo gak mikirin gimana suntuknya gue pas satu-satunya temen berantem gue masuk rumah sakit terus koma? Kalo lo koma, terus gue harus berantem sama siapa coba? Gak mungkin sama si botak ini 'kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion ✓
Random[Book One] [Complete] Ikuti alurnya, seperti Dandelion yang tidak pernah memprotes ke manapun angin membawanya pergi. Di depan semua orang ia mengakui bahwa dirinya menyukai Eren Jaeger sebagai keluarganya namun jauh di dalam relung hati terdalam ia...