34. Berbahagialah Mikasa

789 92 27
                                    

“Sejak operasi transplantasi jantungnya, Eren masih belum membuka mata sama sekali, dia koma,” terang Armin yang menunduk lesu. “Dan dokter bilang, ada kemungkinan Eren akan amnesia,”

Mikasa semakin terisak saja mendengarnya, semuanya sesuai dugaannya, Eren pasti tidak baik-baik saja. Mikasa merutuki kebodohannya, dan menyalahkan semua yang terjadi pasti gara-gara dirinya. Kalau saja saat itu dia tidak membeli es krim dan kalau saja ia lebih berhati-hati, pasti dirinya yang akan menggantikan posisi Eren. Ya, seharusnya begitu. Hanya karena gara-gara menyelamatkannya, Eren sampai koma, ini semua kesalahannya. Dan kalau saja Eren mendengarkan ucapan ibunya, pasti setidaknya nyawa 2 orang terselamatkan. Mikasa masih belum sempat berterima kasih, hanya … mengetahui kalau Levi kirim salam padanya, itupun dari mulut Hange.

“Aku permisi,” hanya itu yang diucapkan Mikasa kemudian Mikasa kembali ke kamarnya, menutup lalu menguncinya dari dalam.

Tubuhnya merosot dan ia duduk meringkuk di balik pintu sambil terus menangis, tapi … apa yang dia tangisi? Apakah karena dia sudah mengetahui kabar Eren atau karena jantung Levi yang ada di tubuh Eren? Entahlah, dia menangisi keduanya.

“Kenapa kau berlari ke arahku, Eren? Kalau kau tidak melakukannya, pasti sekarang kau baik-baik saja 'kan? Kenapa kau lakukan itu?” sesal Mikasa dalam hati.

Kalau ada yang bertanya, siapa yang pantas disalahkan? Maka tunjuk saja Mikasa. Memang semuanya murni kesalahannya.

Tidak, kau salah. Itu bukan salahnya Mikasa, takdir lah yang berperan penuh di kehidupan mereka dan takdir jugalah yang menuntun mereka ke jalan yang penuh rasa sakit ini.

“AAAAAHHHHH!!! EREENN!!”

Raungan Mikasa terdengar bahkan sampai di lantai bawah. Carla dan Yelena yang masih sibuk berbincang dengan Armin dan Jean, langsung menolehkan kepala.

“Mikasa!” Carla berseru, ia langsung lari menuju lantai dua, ke kamarnya Mikasa. Disusul Yelena, Armin dan Jean di belakangnya.

Semakin dekat dengan kamarnya Mikasa, maka bisa terdengar semakin jelas juga raungannya gadis itu dan barang-barang yang dibanting. Mereka semua menggedor-gedor pintu, khawatir Mikasa yang masih tersulut emosi dan akan bertindak gegabah.

“Mikasa!”

“Eren berada di rumah sakit gara-gara aku!! Levi kehilangan nyawanya juga gara-gara aku!! Semuanya salahku!!”

“Mikasa!”

“Papa dan Mama meninggal juga gara-gara aku! Seharusnya aku tak dilahirkan ke dunia ini!! Kehadiranku hanya membawa kesialan saja bagi orang terdekatku! AAAAaaaa!!!!”

Mikasa meraung lagi, semakin membuat khawatir mereka.

“Jean! Dobrak saja pintunya!” perintah Armin yang wajahnya tampak panik.

Jean mengangguk. Ia mundur beberapa langkah, mengangkat kakinya setinggi perut dan dalam sekali tendangan pintu kamar itu sudah terbuka, memperlihatkan Mikasa dalam keadaan kacau. Barang-barang berserakan di sekitar gadis itu. Ada serpihan kaca dan telapak kakinya bersimbah darah, ia tidak sengaja memijak serpihan-serpihan kecil kaca di lantai.

“Mikasa,”

“Jangan mendekat! Atau kalian akan mendapat nasib sial! Jangan mendekat, kumohon … aku tidak ingin ada orang lagi yang terluka gara-gara aku, hiks … hiks … hiks,”

“Mikasa,” Carla berjalan mendekat, ingin memeluk Mikasa.

“Kubilang jangan mendekat!! Ibu, menjauh dari Mika, Mika gak mau ibu terluka,” mata obsidian Mikasa melotot, rambutnya acak-acakan, sangat kentara kemarahan di matanya.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang