27. Ketika Jaeger dan Grice Bertemu (1)

747 95 26
                                    

Liberio, Marley.

Jam 9 pagi mereka sudah sampai di Marley's International Airport. Semuanya sesuai seperti yang diperkirakan Colt. Berbicara mengenai Colt, kalau semalam ia masih memakai setelan kantorannya dia sekarang memakai topi fedora, kaca mata hitam, celana jeans pendek selutut, dan baju kaos putih lengan panjang dan tas besar yang ada di punggungnya, tidak lupa dengan sepatu kets-nya, membuat Colt tidak terlihat pulang ke kampung halamannya, namun lebih mirip turis mancanegara. Sekarang Mikasa mengerti, kenapa tadi Colt agak lama di toilet pesawat dan enggan menjawab pertanyaannya, ternyata inilah jawaban yang Colt berikan.

“Haaahhh, sudah setahun aku tidak mencium udara khas Marley,” ujar pria itu yang menghirup dalam-dalam udara pagi menyegarkan Marley memenuhi paru-parunya. “Ayo Mikasa, supir keluargaku pasti sudah menunggu,”

Mikasa berjalan santai saja di sampingnya Colt, karena semua barang bawaannya sudah dibawakan oleh laki-laki itu. Koper dan tasnya. Colt juga menawarkan, kalau mereka bisa saja sarapan di bandara tapi karena Mikasa yang kelelahan karena perjalanan jauh mereka, menolak, lebih memilih sarapan di rumah Colt nanti. Dan laki-laki itu manggut-manggut saja, tandanya setuju.

Mereka sudah berada di luar bandara dan benar saja, supir keluarga Grice memang sudah menunggu. Mereka lantas menghampiri sulit itu dan langsung melesat meninggalkan bandara.

***********

Setengah jam sudah berlalu, kepulangan Colt disambut hangat oleh keluarganya, terutama si Grice bungsu, yang begitu mendengar langkah sang kakak yang memasuki rumah, ia langsung berlari dan melompat ke Colt, hingga laki-laki itu nyaris terjatuh. Ya, itulah si Falco Grice, si bungsu yang selalu menantikan kepulangan si sulung.

“Kalian sudah sampai, selamat datang!” sambut sang nyonya Grice yang tersenyum ramah. “Mikasa! Apa kabarmu, Sayang?” tanya ibu Colt yang langsung memeluk gadis itu.

“Mikasa baik Bibi, lalu kabar Bibi dan Paman, gimana?” Mikasa bertanya balik, tidak lupa dengan senyuman manis di wajahnya yang selalu ia perlihatkan itu.

“Iya, kami juga sehat, ayo masuk. Kalian pasti lelah 'kan?”

“Kakak! Kau tidak akan pergi ke mana-mana lagi 'kan? Kau akan tetap di sini 'kan?” tanya Falco yang masih berada di gendongan Colt.

“Itu … kakak masih belum tau, pekerjaan kakak masih banyak. Kalau nanti semua kerjaan udah selesai, kakak pasti akan tetap di sini, bersamamu, oke?”

Falco mengerucutkan bibirnya, wajahnya tampak sedih. Tapi ia segera membuang jauh-jauh rasa sedihnya, ia seharusnya bahagia karena sekarang ia sudah bersama kakaknya.

“Jangan sedih begitu, Falco. Kak Mikasa membawakan oleh-oleh untukmu, ayo minta saja ke dia,” imbuh Colt yang kemudian menurunkan adiknya. Falco mengalihkan atensinya, melihat ke perempuan buang sekarang sedang asyik berbincang dengan sang ibu. Ia tidak mengenal perempuan itu, tapi karena Mikasa akrab dengan ibunya, Falco menyimpulkan kalau Mikasa pasti wanita yang sangat baik.

“Kakak, siapa perempuan yang bersama ibu itu?” tanya Falco yang mengalungkan tangannya ke leher Colt.

“Emn … sini kakak bisikkan,”

Colt pun membisikkan beberapa patah kalimat ke sang adik yang kemudian direpon dengan senyuman lebar dari Falco. Colt juga tersenyum lalu menyuruh adiknya itu, untuk melakukan yang dia katakan. Falco menurut.

“Ano, kak Mikasa,” panggil Falco ragu-ragu.

Merasa ada yang menarik-narik dress-nya, Mikasa melihat ke bawah, melihat sang pelaku yang menatapnya datar. Lalu ia berlutut, menyetarakan tinggi badannya dengan Falco. “Iya Falco, ada apa?” tanya Mikasa ramah, jangan sampai anak laki-laki di depannya ini takut dengannya.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang