Levi duduk sambil menahan sakit di ranjang UKS ditemani Mikasa yang duduk di kursi di depannya. Wajahnya mendapat luka memar di sudut bibir dan pelipis, dan mata elangnya itu tidak bisa menatap Mikasa. Perempuan kalau sudah marah benar-benar mengerikan, batin Levi. Setelah insiden di belakang gudang tadi, ia tak bisa melakukan apapun kecuali menuruti semua permintaan Mikasa, termasuk keberadaannya sekarang di UKS sekolah.
Ia sangat terkejut saat tadi Mikasa berteriak memanggilnya di detik-detik terakhir perkelahiannya, karena saking terkejutnya ia hanya diam mematung sedangkan gadis itu menatapnya penuh amarah.
"Mika-"
"Diam! Jangan katakan apapun sebelum aku selesai membersihkan lukamu," perintah Mikasa yang sibuk mengompres luka-luka Levi.
Dengan hati-hati Mikasa menyentuh luka Levi, sesekali ditiupnya pelan lalu dikompres lagi, begitu terus sampai bekas darah benar-benar menghilang, menyisakan warna ungu kebiruan di wajah laki-laki itu. Lalu setelah bekas kompresnya kering, Mikasa menempelkan dua plester di wajah Levi, satu di sudut bibir dan satunya lagi di pelipisnya.
"Kenapa kau harus berkelahi? Lihat! Wajah tampanmu jadi rusak begini," tanya Mikasa kemudian.
"Mika-"
"Diam! Aku masih belum selesai bicara! Kau ini kenapa? Aku tahu mereka itu berandalan sekolah, tapi untuk menegur mereka gak perlu pakai kekerasan. Apa kau mau mencemarkan nama baikmu sendiri, hah?"
"Mikasa,"
"Diam!" seru Mikasa yang menekan luka di sudut bibir Levi hingga membuat cowok itu meringis kesakitan. "Apa kau tidak memikirkan bagaimana nasibmu ke depannya hah?! Untung saja para guru masih memaafkanmu, cebol! Bagaimana kalau namamu tercatat di buku hitam? Atau yang lebih parah, kau bisa diskors! Atau yang lebih buruk lagi kau sampai dikeluarkan dari sekolah ini! Apa kau tidak memikirkan itu semua?! Hiks,"
"Mikasa, kupikir pendisiplinan terbaik adalah melalui rasa sakit,"
"Kalau begitu akan kubuat semakin sakit luka-lukamu ini supaya kau bisa mengerti!"
Levi menunduk, penyesalan selalu datang di akhir. Ia menatap Mikasa yang tertunduk di depannya, tubuh gadis itu gemetar dan sesekali terdengar isak tangisnya, dan setetes air mata Mikasa jatuh ke air di baskom itu. Levi membulatkan matanya, apakah Mikasa menangisinya?
"Levi no baka! Baka!"
Levi menaruh baskom yang dipangku Mikasa ke meja, lalu dia mendekatkan tubuhnya ke Mikasa dan mendekap erat gadis itu ke pelukannya, membiarkan Mikasa menangis di bahunya. Sedangkan Mikasa, tangisannya semakin menjadi dan membalas pelukan hangat Levi.
"Maafkan aku, maaf,"
"Jangan lakukan itu lagi ... aku mengkhawatirkanmu, bodoh,"
"Mikasa, sudah kubilang jangan menangis saat kau bersamaku,"
"Diam, jangan larang aku menangis di saat seperti ini,"
Hange memasang senyum di pintu masuk UKS, menyaksikan bagaimana Mikasa menangisi Levi sudah membuatnya senang. Setidaknya, mungkin Levi tidak akan merasa tersakiti lagi.
"Hange-senpai!" teriak Eren yang berlari ke arahnya. Hange menoleh dan mendapati Eren dengan nafas memburu.
"Eren? Ada apa?"
"Ano, kudengar Levi-senpai berkelahi, lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Kurasa dia sudah baikan," jawab Hange yang kembali melihat ke dua orang bermarga Ackerman yang di dalam UKS. Eren mengalihkan matanya, sepertinya tidak ada gunanya mengkhawatirkan seniornya itu karena sekarang dia sudah berada di penanganan yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion ✓
Random[Book One] [Complete] Ikuti alurnya, seperti Dandelion yang tidak pernah memprotes ke manapun angin membawanya pergi. Di depan semua orang ia mengakui bahwa dirinya menyukai Eren Jaeger sebagai keluarganya namun jauh di dalam relung hati terdalam ia...