Sampailah Mikasa di sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas, bercat abu-abu, putih, dan cokelat, memiliki gerbang setinggi 2 meter yang di bagian depannya tertera tulisan Kediaman Jaeger.
Berita kepulangan Mikasa tentu menjadi berita sukacita bagi orang-orang terdekatnya. Untuk saat ini, ia akan tinggal di rumah Eren karena walaupun sudah pulang, Mikasa tetap harus tetap mendapatkan pengawasan.
Satu langkah kaki memasuki pintu utama. Ada yang berbeda dari rumah ini, tidak ada tanda-tanda keberadaan Eren, laki-laki yang sama sekali belum pernah ia temui selama hampir sebulan. Perlahan, muncul kecurigaan di hatinya, ia merasa semua orang menyembunyikan Eren darinya, termasuk juga keluarganya. Mikasa juga sudah berkali-kali mengingatkan dirinya tidak boleh berprasangka buruk, hingga ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri soal Eren.
"Ikut denganku Mikasa, kamarmu ada di sebelah sini," titah Yelena yang membantu membawakan barang-barang Mikasa. Si kecil Ovi juga terlihat bersemangat, terutama saat ia mendengar Mikasa akan tinggal bersama mereka, walaupun hanya sementara.
Mikasa berjalan di belakang Yelena, hingga mereka melewati sebuah pintu kayu berwarna hitam yang ada gantungan papan nama Eren. Mata obsidian tidak lepas menatap nama sang pemilik kamar. Ia merindukannya, dan kamar Eren pun tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan di sana.
"Ini kamarmu, tepat bersebelahan dengan kamar Eren,"
"Kak Yelena, kakak tahu di mana Eren?"
"Dia ada Mikasa, tenang saja," jawab Yelena yang tersenyum ketir, menahan air matanya yang hampir jatuh.
**********
"Mikasa, teman-temanmu sudah sampai!" pekik Carla dari dapur. Mikasa segera menuju ruang tamu, walaupun ia sedikit lambat. Dan akhirnya, ia harus digendong Yelena.
"Apa yang kau ingin bicarakan, Mikasa?" tanya Armin saat mereka semua sudah masuk.
Inilah waktu yang tepat untuk sedikit mengorek informasi tentang Eren. "Saat itu, suasana jalanannya sedang sepi. Aku memutuskan untuk membeli es krim, untukku dan Eren. Lalu saat aku ingin kembali, Eren tiba-tiba berlari ke arahku. Dia berteriak "MIKASA!!" dan setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, kak Zeke bilang aku tidak mengalami amnesia, lalu kenapa aku tidak bisa ingat kejadian selanjutnya? Kalian bilang, kami mengalami kecelakaan 'kan? Lalu bagaimana detailnya? Kenapa kami bisa berakhir di rumah sakit? Siapa yang membawa kami ke sana?" tanya Mikasa yang akhirnya buka suara. Sebenarnya dia sudah lama ingin menanyakan ini, tapi pasti tidak akan ada yang mau menjawabnya. Mereka semua saling memandang satu sama lain, apakah mereka harus menjawab pertanyaan Mikasa? Sekarang?
"Kami menerima telfon kalau kau mengalami kecelakaan Mikasa, kami juga tidak tahu bagaimana dengan detailnya. Saat, kami sampai di sini, kau sudah berada di rumah sakit," ujar Armin namun tidak menjawab apapun yang Mikasa tanyakan.
"Ah, aku ingat! Ada seseorang yang menawarkan mobilnya untuk membawa kami, tapi aku tidak begitu ingat dengan wajahnya karena pandanganku yang kabur," jeda sejenak. "Mana Eren? Kalian pasti mengetahui sesuatu 'kan? Ayo katakan padaku,"
Mereka semua masih diam. Tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Armin, saat masih sekolah dulu, pertanyaan dengan rumus tersulit yang sudah setingkat profesor pun kau masih bisa menjawabnya dengan mudah 'kan? Lalu kenapa kau sekarang tidak bisa menjawab pertanyaanku? Apakah terlalu sulit untukmu?"
Perlahan, air mata Mikasa jatuh, membasahi pipi. Ia kecewa, karena sampai detik ini juga mereka tidak menjawab apapun pertanyannya.
"Jean, kau ahlinya dalam pelajaran bahasa dan dengan mudahnya kau bisa menerjemahkan banyak bahasa sekaligus, lalu kenapa kau sekarang sulit menjawab pertanyaanku? Apakah bahasaku terlalu sulit untuk kau pahami?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion ✓
Random[Book One] [Complete] Ikuti alurnya, seperti Dandelion yang tidak pernah memprotes ke manapun angin membawanya pergi. Di depan semua orang ia mengakui bahwa dirinya menyukai Eren Jaeger sebagai keluarganya namun jauh di dalam relung hati terdalam ia...