17. Eren atau Levi?

938 87 14
                                    

Mikasa duduk sendirian di taman penginapan. Sambil melihat langit malam yang kosong, tidak ada bulan atau bintang, mencerminkan suasana hatinya yang kelabu saat ini. Terima kasih langit, sudah sedikit bersahabat dengannya. Sejak perbincangan mereka di tempat pemandian Mikasa merasa kacau, ya walaupun Sasha sudah membelanya ia tetap merasa buruk. Sudah dia duga, bukan dirinya saja yang mencintai Eren.

Dan saingannya adalah Historia, tentu saja dia akan kalah. Bahkan ia sepertinya sudah ditolak sebelum menembak. Miris.

Kenapa kisah romantis di novel-novel yang dia baca selalu saja bahagia? Atau saat ceritanya menyedihkan, pasti akan selalu berakhir bahagia. Rasanya ingin pindah dimensi saja. Lalu kisah percintaannya sendiri, sudah menyedihkan pasti akan berakhir menyedihkan pula. Beginilah rasanya mencintai laki-laki yang dicintai perempuan lain. Ia hanya akan merasakan sakit saja.

Mikasa duduk meringkuk dan mendongakkan kepalanya kembali menatap langit, lalu air matanya jatuh perlahan-lahan, membawahi pipi dan syalnya. Hatinya sakit, iya terlalu sakit bahkan membuatnya menangis tak bersuara. Bayang-bayang wajah Eren terlintas di wajahnya, lalu kenangan indah masa kecil mereka juga terlintas hingga air matanya jatuh semakin deras. Mikasa kemudian meyakinkan diri, semua kenangan itu pasti hanya karena Eren menganggapnya sebagai adik, tidak akan pernah dianggap sebagai Mikasa. Ia juga teringat dengan percakapan Eren dan Armin yang secara tidak sengaja ia dengar. Eren mengatakan kalau cowok itu hanya menganggapnya adik. Dipertegas, hanya adik! Tidak ada kesempatan baginya untuk bisa mengisi hati seorang Eren Jaeger sebagai Mikasa Ackerman bukan sebagai adik.

“Apakah mencintai selalu sesakit ini? Kenapa … kenapa sangat sesak? Hiks …,” isak Mikasa pelan yang menahan suara tangisnya. Hatinya menjerit namun suaranya tidak bisa tersampaikan ke mulut. Sakit sekali.

“Aku hanya ingin bahagia, apakah salah? Apakah itu terlalu sulit? Tolong, kirim siapa saja yang akan menjadi kebahagiaanku, tolong,” pinta Mikasa dalam hati. Ia tidak peduli lagi, ia akan mulai membuka hatinya untuk orang lain dan akan mencoba melupakan Eren walau terasa mustahil. Di sela-sela tangisnya, gadis itu teringat kembali dengan ucapannya saat sebelum menyadari perasaannya ke Eren. Ia juga menganggap cowok itu sebagai keluarga, lalu apa bedanya dengan Eren yang menganggapnya sebagai adik? Mereka sama! Sudah pasti tidak bisa bersama.

Arrgghhhh! Kenapa sulit sekali?

Gadis itu membenamkan kepalanya, dan tubuhnya gemetar menahan suara tangis yang hampir keluar, biarlah hanya semesta saja yang mengetahui kesedihannya malam itu. Perlahan-lahan, satu bintang muncul di langit, menerangi langit di sekitarnya, bahkan sekarang langit pun tidak bersahabat lagi dengannya.

Di sela-sela tangisnya, sekarang muncul bayang-bayang wajah Levi saat tersenyum padanya, bukan wajahnya saja, melainkan semua yang mereka lakukan juga berputar kembali di ingatannya. Ia jadi teringat bagaimana hari-harinya di sekolah bersama Levi, saat ia memiliki masalah dengan Eren pasti Levi selalu ada dan mendengar semua keluh kesahnya. Jujur, ia bahagia bersama Levi tapi ia hatinya akan tetap memilih Eren.

Kenapa jadi semakin sulit? Ia tidak pernah mengira kalau semuanya akan jadi seperti ini. Ia tidak mungkin mencintai dua orang sekaligus, harus tetap salah satu. Pilihannya gampang, Eren atau Levi? Yang sulit adalah menentukan pilihannya.

“Siapa kebahagiaanku yang sesungguhnya?!”

Mikasa berteriak, pertanyaan itu akhirnya bisa lolos dari mulutnya. Gadis itu cepat-cepat membungkam mulutnya dan merutuki kebodohannya, lagi. “Eren, bisakah aku sedikit berharap padamu? Bisakah aku berharap akan ada kesempatan untukku supaya bisa lebih dekat denganmu? Bisakah … kau berhenti menganggap kalau aku adalah adikmu? Karena aku sudah menganggapmu sebagai orang lain, bukan keluarga,”

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang