22. Girl Talk

652 74 6
                                    

Menikah memang suatu hal yang paling didambakan oleh setiap wanita di dunia ini, apalagi menikah dengan laki-laki yang dicintai. Pasti akan menjadi suatu kebahagiaan sekali seumur hidup.

Tapi arti pernikahan justru akan menjadi bagian yang terburuk di hidup Mikasa, terutama menikah dengan teman semasa kecilnya dulu. Memang tidak ada yang salah dengan itu, yang salah adalah perjodohannya yang terjadi secara tiba-tiba bahkan sudah direncanakan sejak ia masih kecil. Sudah tiga hari sejak ia mendapat kabar tentang perjodohannya dengan Colt dan pernikahan mereka akan berlangsung beberapa bulan lagi. Berarti dalam hitungan beberapa bulan, namanya akan berubah menjadi Mikasa Grice. Tidak! Ia tidak mau namanya berubah jadi seperti itu. Cukup Mikasa Ackerman saja atau kalau ia masih bisa berharap, ia ingin menjadi Mikasa Jaeger.

Mikasa menatap pantulan dirinya di cermin, bawah matanya menghitam, dan ia terlihat sedikit pucat. Pasti ini gara-gara sudah dua hari tidak tidur memikirkan cara agar bisa membatalkan perjodohannya, dan sepetinya cuman dia sendiri yang merasa terbebani di sini. Colt juga bilang kalau dia tidak tahu-menahu tentang ini, tapi kenapa wajahnya terlihat sama sekali tidak keberatan dengan pernikahan mereka? Astaga, jangan bilang kalau Colt malah menyetujuinya.

Saat Mikasa sibuk memandangi dirinya di cermin, ponselnya berdering dan tertera nama Colt di sana, membuat perhatian Mikasa teralihkan ke benda pipih itu. Bagus. Bahkan Colt tahu kalau gadis itu sedang memikirkannya.

“Ha–”

“Oi Mikasa, kau masih di rumah?” suara khas Colt terdengar sangat jelas, membuat Mikasa sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

“Iya, emang kenapa? Kau mau mampir? Maaf, di rumahku gak tersedia makanan,” jawab Mikasa jutek. Saat ini ia tidak ingin bertemu dengan pria itu, ya sekalian supaya Colt sadar kalau ia tidak ingin menikah dengan pria itu.

“Jutek banget sih. Oi Mikasa, sekarang aku sedang berdiri di depan rumahmu. Bisa keluar sebentar?”

Mikasa membulatkan matanya lalu berlari kecil ke jendela kamarnya. Ia melihat ke pintu depan rumahnya yang memang ada Colt berdiri di sana, bahkan sekarang pria itu melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum.

“Apa yang kau lakukan di sana?”

“Ada yang ingin kuberikan padamu, makanya kau keluarlah,”

“Tunggu sebentar,”

Mikasa mematikan sepihak sambungannya lalu segera berlari ke lantai bawah, membukakan pintu untuk teman kecilnya itu. Pintu sudah terbuka, menampilkan Colt dengan pakaian santainya, hanya memakai kaus berwarna navy dan celana training abu-abu dan sepatu sport warna putih. Saat didekati, tercium bau keringat menandakan kalau Colt baru selesai olahraga.

“Kudengar, kau punya butik 'kan? Nah, tolong jahitkan baju untukku,” pinta Colt yang memberikan sebuah paperbag berisi bakal baju.

“Kalo gitu, ayo masuk. Aku akan mengukurmu,”

“Haruskah?” alis mata Colt naik sebelah.

“Kau memintaku untuk menjahitkan bajumu, lalu bagaimana aku menjahitnya kalo aku gak tau ukuranmu, Colot?” tanya Mikasa yang penuh penekanan, menekan kuat emosinya supaya ia tidak marah-marah di pagi itu.

“Mikasa, apa waktu tidurmu cukup?” tanya Colt yang sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Mikasa, melihat lingkaran hitam di bawah mata gadis itu. Dan sedikit mengalihkan pembicaraan. “Bawah matamu hitam, seharusnya kau juga menjaga kesehatanmu,”

“Mataku jadi begini gara-gara perjodohan itu, Colt! Aku gak bisa tidur karena memikirkan pernikahan kita yang tinggal beberapa bulan lagi!” seru Mikasa yang membuat Colt tersentak. Terkejut karena merasa Mikasa marah padanya.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang