11. Kencan Pertama (1)

941 104 17
                                    

“Mikasa!” seorang anak kecil berteriak keras sambil berlari di pinggiran pantai. Langkah larinya menimbulkan jejak di pasir sebelum ombak datang dan menyapu rata apa yang dilaluinya. Matahari sudah hampir terbenam, memperlihatkan setengah lingkaran yang berwarna jingga terang hampir tenggelam di tengah laut. Burung-burung berterbangan kesana-kemari menghiasi langit senja di sana.

“Eren!” seorang gadis berambut hitam panjang itu terus berlari kala si anak laki-laki mengejarnya. Tawa terus menyertai mereka hingga saat jarak mereka sudah semakin dekat, Eren memanjangkan tangannya dan berhasil menangkap Mikasa. Mereka berdua terjatuh dan kembali tertawa.

“Eren … tok tok tok,”

Ha? Kenapa suara Mikasa berubah menjadi ketukan pintu? “Bisa katakan sekali lagi?”

“Tok tok tok!”

Eren tersentak dan terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi saat dia dan Mikasa bermain di laut saat mereka masih kecil dulu. Ia tersenyum tipis, gara-gara suara ketukan pintu mimpinya jadi buyar.

Eren menarik selimutnya, bermaksud ingin melanjutkan tidurnya. Namun ia kembali mendengar suara pintu rumahnya diketuk, berarti suara itulah yang sampai ke mimpinya tadi.

Eren beranjak, ingin memastikan orang gila mana yang datang ke rumahnya pukul 2 pagi begini? Bahkan orang gila sekalipun seharusnya tahu kalau ini masih jam tidur. Pintu kamar dibuka, memperlihatkan Mikasa yang juga terbangun dengan stik baseball di tangannya, kemudian ia keluar dan melihat ibunya sudah jaga-jaga di belakang ayahnya sambil membawa teplon di tangannya.

Grisha memberi kode untuk tetap tenang, dan mereka sekeluarga berjalan mengendap-endap menuju pintu yang dari tadi masih diketuk. Grisha akan segera memberi pertolongan kalau itu adalah pasien, dan kejadian ini juga sudah tidak jarang terjadi. Terkadang, ada saja pasien yang datang ke rumahnya di jam-jam segini hanya untuk berobat tapi tentu dengan mengetuk pintu sambil berteriak "Dokter Grisha! Tolong!" namun kali ini tidak ada yang berteriak memanggil namanya.

Mereka sudah berada di dekat pintu, Carla mundur dan membiarkan Eren di posisi kedua menggantikannya dan ia juga bersembunyi di belakang Mikasa, sebagai pertahanan terakhir katanya.

Pintu perlahan dibuka, memperlihatkan tubuh tinggi besar namun wajahnya tidak terlihat jelas. Sepertinya seumuran dengan sang kepala keluarga.

“Ah, kenapa lama sekali? Hampir 45 menit aku berada di luar sini,” ujarnya.

Mata Grisha, Carla dan Eren membulat sempurna, mereka mengenal suara ini. Suaranya berat namun terdengar sangat familiar di telinga mereka. Laki-laki itu kemudian masuk, sambil menenteng satu koper, satu tas besar dan satu tas yang ukurannya sedikit lebih kecil di punggungnya. “Assalamualaikum, Zeke pulang,”

Carla menjatuhkan teplonnya dan langsung menyambar Zeke dan memeluk erat laki-laki itu, Zeke terkejut namun ia segera membalas pelukan hangat yang selalu ia rindukan selama 11 tahun ini.

“Selamat datang Zeke,” sambut Grisha yang tersenyum dan memeluk anak sulungnya itu.

“Yo Eren!” laki-laki berambut pirang itu mengalihkannya pandangannya melihat ke laki-laki berambut cokelat bermata emerald itu, lalu ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. “Oh adik kecilku tersayang, ternyata kau sudah besar. Ayo kemari, peluklah kakakmu yang sangat merindukanmu ini,”

Eren terdiam dan mematung di tempatnya, ia menatap tidak percaya dengan laki-laki yang mengaku sebagai kakaknya itu. Eren menggeleng dan kemudian tersenyum lebar. “Oh monyetku! Akhirnya kau pulang!” Eren pun merentangkan tangannya dan berlari ke Zeke, bermaksud ingin memeluknya.

Namun sebelum Eren mendarat di pelukannya laki-laki itu malah menjitak kepalanya. “Apa-apaan tadi itu, hah?! Aku baru sampai dan kau langsung menyebutku begitu?” laki-laki itu mengomel sambil berkacak pinggang, ingin rasanya memarahi Eren. Namun ia sadar, ini masih dini hari.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang