8. Strategi Perang dari Erwin

907 116 19
                                    

5 hari kemudian ....

Setelah kejadian itu tidak ada lagi yang ingin membahas tentang apapun yang terkait dengan perasaan Mikasa. Tidak terkecuali perihal Eren.

Mikasa yang biasanya selalu tersenyum manis kini senyum itu telah hilang dari wajahnya, hari-harinya di sekolah dihiasi dengan wajah yang selalu terlihat murung dengan tatapan mata yang redup. Semakin hari Eren dan Historia semakin dekat sehingga banyak yang menyangka kalau kedua remaja itu sudah resmi berpacaran, namun nyatanya … tetap teman. Di saat seperti inilah Mikasa memilih mundur atau tetap bertahan, tidak ada harapan kalau ia akan bisa bersama Eren, dan mungkin mundur adalah pilihan yang tepat.

“Mikasa, nanti sampaikan pada ibu kalau aku akan pulang terlambat,”

“Oke, apa alasannya?”

“Pas pulang sekolah nanti, aku mau ke toko buku yang ada di distrik Krolva,”

“Tapi dari Krolva ke Shiganshina itu jauh, jauh banget malah. Berarti kalo misalnya mati kamu sampe rumah bisa sampe jam 7 malam 'kan?”

“Enggak masalah kok, sekalian aku jalan-jalan sama Historia,”

“Oh oke,” balas Mikasa dengan nada cuek, namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit keberatan saat Eren mengatakan akan pergi bersama Historia. Mikasa berjalan lebih dulu, mendahului mereka, melihat wajah Eren ia jadi selalu teringat dengan Historia.

“Mikasa kenapa?” tanya Eren yang menggaruk belakang kepalanya.

“Gak tau,” jawab Armin yang sepertinya juga cuek.

Eren menatap kedua sahabatnya itu secara bergantian, sepertinya mood mereka berdua sedang buruk.

***

Bel masuk sudah masuk dari beberapa menit yang lalu, namun tidak ada guru yang masuk melainkan Marco lah yang menjelaskan sedikit materi di papan tulis dan menuliskan tugas yang harus dikerjakan.

“Mikasa, gue boleh minta tolong?” tanya Marco yang berdiri di sampingnya.

“Tolong apa?”

“Tolong antarkan tugas ini ke kantor guru, tolong ya, ke mejanya pak Keith,”

“Oke, letak aja di sini nanti aku antarkan,”

Marco tersenyum mendengarnya, ia langsung memberikan tumpukan kertas yang sudah tersusun rapi lalu pergi begitu saja. Tidak lama setelah cowok itu pergi, Mikasa yang sudah dimintai tolong langsung saja keluar dan menuju kantor guru.

Ia sudah sampai dan langsung mengetuk pintu dengan sopan, masuk dengan sekali membungkukkan badannya dan langsung menyerahkan tumpukan kertas ke itu ke meja pak Keith. Setelahnya ia langsung pergi. Saat berjalan di koridor menuju kelas, ia sayup-sayup mendengar suara seperti dua orang yang sedang berbincang. Di ujung koridor, belok kiri di sanalah asal suaranya.

“Eren, ada yang ingin kutanyakan,”

“Suara Armin?” batin Mikasa yang memperlambat langkahnya dan berjalan mengendap-endap.

“Apa?”

Ada suara Eren juga, oh ternyata mereka berdua yang sedang berbincang itu. Mikasa ingin segera pergi, tidak baik mendengar pembicaraan orang lain. Namun langkahnya terhenti saat Armin menyebut namanya.

“Sebenarnya, kau menganggap Mikasa apa?”

“Mikasa? Dia … aku cuma menganggapnya seperti adik. Iya, begitulah,” jawab Eren.

Sudah jelas semuanya. Mikasa yang mendengar itu, hanya menutup mulutnya. Hatinya terlalu sakit mendengar itu. Eren hanya menganggapnya seperti adik dan dia menganggap Eren sebagai keluarga, sudah pas, tidak perlu mengharapkan yang lebih. Ini bukan cerita novel yang pasti ada keajaiban di setiap kejadian di ceritanya. Ini nyata, tidak usah berharap keajaiban akan muncul.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang