Keesokan harinya, sarapan yang sepi di tempat Levi, Erwin dan Hange. Saat sarapan, tidak ada satupun yang berbicara begitupun juga saat berjalan ke sekolah. Benar-benar hening. Setelah kejadian semalam, Levi sama sekali tidak keluar kamar hingga baru pagi tadi dia keluar dalam keadaan yang berbeda, rambutnya acak-acakan, wajahnya kusut dan bawah matanya yang semakin menghitam. Bisa dipastikan kalau ia tidak tidur semalaman.
“Levi,” panggil Erwin ke cowok yang berjalan di depannya itu.
Mendengar namanya dipanggil Levi menoleh.
“Aku minta maaf, seharusnya aku gak melibatkanmu,”
“Gak apa-apa, mungkin akan ada keajaiban yang terjadi padaku suatu saat nanti, dan maaf juga karena semalam aku malah melampiaskan emosiku padamu,”
“Nah ini baru cebol kesayanganku! Jangan marah lagi ya, kalau kau marah lalu siapa yang akan jadi pendengar keluh kesahmu nanti?” tanya Hange yang merangkul cowok itu sambil tersenyum tengil dan dibalas dengan toyoran pelan dari Levi.
“Iya, iya,” jawab Levi yang tersenyum, ia juga tidak bisa terlalu lama marah ke kedua sahabatnya itu.
***
Trio Shiganshina baru saja sampai di loker sepatu, mereka sampai lebih lama karena Zeke bersikeras ingin mengantar mereka, supaya bisa mengetahui distrik-distrik yang ada di Paradise katanya.
Eren membuka loker sepatunya mendapati ada 3 amplop di sana, yang satu berwarna merah muda, warna kuning dan warna putih. Sudah dipastikan kalau itu dari para fans-nya. Eren menghela nafas panjang lalu mengambil tiga amplop itu dan membuangnya ke tong sampah yang tidak jauh dari pintu masuk.
“Surat cinta lagi?” tanya Armin.
“Sudah ke sekian kalinya aku membuang kertas seperti itu. Dan semakin aku buang semakin bertambah banyak surat yang muncul, melelahkan,” keluh Eren sambil memakai sepatunya.
“Mikasa, kudengar kamu semalam kencan sama Levi–senpai ya?” tanya Armin lagi yang kini menatap Mikasa.
“Entahlah, aku tak tahu apa itu bisa disebut kencan? Dan Armin, bagaimana denganmu? Apa sudah ada kemajuan dengan Annie?”
Mata Armin membulat, mulutnya sudah terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Wajahnya memerah dan terasa panas. Dirinya akan selalu seperti itu kalau sudah ada yang bertanya soal hubungannya dengan Annie. Mikasa hanya tersenyum kecil, bahkan tanpa Armin menjawabnya pun ia sudah tahu jawabannya.
“Sudah selesai, ayo ke kelas,” ajak Eren sambil berdiri.
“Erennn!”
Seorang gadis berambut pirang bermata biru berlari menghampiri mereka dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya.
“Pagi Eren, ah pagi juga Mikasa, Armin,” sapa Historia sambil mengambil sepatu di loker miliknya.
“Pagi,” balas Mikasa dan Armin serentak.
“Eren mau ke kelas? Kita bareng ya,”
Historia menggamit lengan Eren, agar mereka jalan bersama. Armin dan Mikasa berjalan di belakang mereka tapi dengan jarak yang cukup jauh, supaya apa yang mereka bicarakan tidak akan sampai ke telinga Eren dan Historia.
“Aku risih ngeliat Historia kayak gitu. Aku tau dia memang dekat sama Eren, tapi gara-gara dia juga Eren jadi jauh dari kita 'kan?” celetuk Armin tiba-tiba.
“Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu, Armin?”
“Banyak, sampe ada istilah di mana ada Eren disitu ada Historia. Kamu karena udah sering bareng Levi–senpai jadi gak tau. Pokoknya di deretan meja kita, gak ada yang suka sama Historia,” jelas Armin yang terlihat jelas kekesalan di wajahnya. Armin yang biasanya selalu terlihat tenang, damai, ramah dan bersahabat hari ini menunjukkan sisi lain dari dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion ✓
Random[Book One] [Complete] Ikuti alurnya, seperti Dandelion yang tidak pernah memprotes ke manapun angin membawanya pergi. Di depan semua orang ia mengakui bahwa dirinya menyukai Eren Jaeger sebagai keluarganya namun jauh di dalam relung hati terdalam ia...