35. Terima Kasih, Levi

797 82 26
                                    

Pagi ini, keadaan Mikasa sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Ia sudah rapi dengan pakaian santainya, cukup memakai kaus berwarna biru dongker yang lengannya sampai siku dan celana yang panjangnya sampai tumit, ia ingin segera berkumpul dengan keluarganya di ruang makan.

“Bibi Mikasa!!” pekik Ovi yang berlari ke Mikasa dan melompat ke gadis itu, untung Mikasa bisa menahan Ovi, kalau tidak, dia pasti sudah terlentang di lantai.

“Ada apa, Sayang?” tanya Mikasa ramah yang kemudian mencium pipi tembem anak itu.

“Bibi jangan sakit lagi, ya,”

“Iya,”

“Kata Paman Eren, kita harus teriak tatakae supaya gak sakit. Jadi, tatakae bibi Mikasa. TATAKAE!”

Ovi jadi terlihat seperti anaknya Eren ketimbang anak Zeke. Eren yang punya motto "Tatakae" kini sudah mewariskan mottonya itu ke seorang Ludovico Jaeger, keponakannya. Mikasa tertawa kecil sembari mengelus puncak kepala Ovi lalu dia berjalan menuju meja makan dan meletakkan Ovi di kursi kesayangannya.

“Ovi, kamu jangan begitu, Bibi Mikasa masih sakit. Apa kakimu masih sakit Mikasa?” tanya Yelena yang cemas.

Mikasa menggeleng. “Sudah tidak terlalu sakit. Oh iya kak Zeke, gimana kabar Eren?”

“Yang menangani Eren adalah Dokter Magath, Mikasa, jadi aku tidak begitu tahu bagaimana keadaannya. Tau sendiri gimana dunia kedokteran 'kan? Tapi secara sembunyi-sembunyi, aku juga selalu menanyakan kondisi Eren. Kondisi anak itu, masih sama semenjak dia selesai operasi. Dia koma,” jelas Zeke yang sudah hampir selesai sarapan. “Dan, ada kemungkinan Eren amnesia, karena kepalanya juga mengalami benturan keras hingga tengkoraknya retak,”

Mendengar penuturan Zeke, Mikasa jadi sanksi, bagaimana kalau misalnya Eren udah bangun nanti dia tidak mengingat apapun? Namanya, keluarganya, semua temannya atau bahkan pernikahan mereka. Mikasa menghela nafas, mencoba untuk tidak terkejut dan dia juga sudah mempersiapkan diri kalau-kalau ia mendapat jawaban yang buruk. Mikasa mengoleskan selai kacang ke rotinya lalu langsung memakannya. Dia tidak ingin bertanya apapun lagi kalau jawaban yang ia dapat tidak memuaskan.

“Mikasa, nanti kami akan menjenguk Eren, kamu mau ikut?” Carla bertanya.

Mikasa mengangguk. “Ikut,”

**********

Mobil berwarna putih berhenti di area pemakaman. Walaupun sekarang siang hari, namun sepi sekali di sini, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mikasa keluar dari mobil lalu segera mencari-cari nisan dengan nama Levi Ackerman. Dia ingin berziarah.

Akhirnya Mikasa menemukannya, nama Levi tersemat di sebuah nisan yang berada di ujung makam. Mikasa lalu jongkok sembari mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kuburan Levi lalu menaburkan bunga di atas tanah makamnya lalu Mikasa memejamkan mata dan berdoa.

Ada sekitar 2 menit, Mikasa menyentuh nisan Levi, dia tersenyum. “Hai, bagaimana keadaanmu di sana? Apa kau baik-baik saja? Pasti kau sudah bertemu dengan Nyonya Kuchel, 'kan?”

“Aku sudah membaca surat-suratmu, Levi. Hange–san sendiri yang mengirimnya padaku. Oh iya, kalung yang kau berikan masih kusimpan dengan baik, dan terima kasih atas ucapan selamat di surat itu,”

Mikasa menatap lekat nama di nisan yang sekarang ia sentuh, dia terlihat seperti bicara sungguhan dengan Levi dan Levi ada bersamanya padahal sekarang ia hanya bicara sendiri.

“Lalu … setelah 7 tahun aku baru membaca suratmu dan semalam aku membacanya, maaf. Aku menemukan suratmu di loker sepatuku dan Hange–san tidak mengatakan apapun. Kau bilang aku mustahil menangisi kepergainmu, 'kan? Kau salah, aku menangisimu, tapi enggak separah aku menangisi Eren sih, hahaha. Enggak, enggak, aku bercanda.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang