31. Kepala yang Diperban

602 59 14
                                    

"Gelap sekali. Ini di mana? Ada bau obat dan sekujur tubuhku masih terasa sakit. Mataku tidak mau terbuka dan aku bahkan tidak tahu sekarang hari apa, jam berapa, sudah pagi atau siang, atau sudah malam. Sudah berapa lama aku tertidur? Hening. Apakah hanya aku yang ada di sini? Kemudian aku mendengar suara, tunggu! Itu benar, memang ada suara walaupun sayup-sayup,"

Mata obsidian terbuka melihat ke sekeliling ruangan yang asing baginya. Wajahnya terlihat pucat, efek dari tidurnya yang sudah lama. Bau obat menyengat. Ruangan yang dominan putih dan seorang pria berkacamata bulat berwarna silver berambut pirang yang ada di depannya, terlihat sibuk. Pakaiannya juga berwarna putih, stetoskop menggantung di lehernya, dan ada sebuah catatan di tangannya. Mata birunya terlihat fokus dengan infus, hingga ia bertanya. "Hai, siapa namamu?"

"Mikasa. Mikasa Ackerman,"

"Kau ingat siapa aku?"

"Kak Zeke,"

"Kamu tau ini di mana?"

"Ini di ... rumah sakit, apa benar?"

"Bagus, semuanya sesuai dengan hipotesisku," urai Zeke yang terlihat sibuk dengan sebuah tulisan di tangannya. "Kau tidak mengalami amnesia, dan ini menjadi kabar baik,"

"Kak Zeke, kenapa kepalaku diperban? Bagaimana bisa aku berada di sini? Sebenarnya apa yang terjadi? Sudah berapa lama aku di sini?" tanya Mikasa bertubi-tubi, ia ingin segera mendapatkan jawaban.

"Jangan pikirkan itu. Kamu istirahat saja dulu," pinta Zeke seraya mencubit pelan pipi Mikasa.

"Eren ... di mana Eren?"

"Dia ada kok, beristirahatlah Mikasa. Kondisimu masih lemah saat ini," jawab Zeke yang tersenyum ketir sambil menggigit bibir bawahnya. Zeke kemudian keluar dan sedetik sebelum sosok itu benar-benar menghilang, ia melihat Zeke melakukan gerakan seperti menyeka air mata.

Mikasa menurut saja ia pun mencoba memegang keningnya yang ditutupi perban. Rasanya agak sedikit sakit. Ia tidak ingat apapun, selain ... Eren mencoba menyelamatkannya, tapi menyelamatkannya dari apa? Ia sudah mencoba untuk mengingat, namun setiap kali ia lakukan itu, kepalanya langsung nyeri.

"Hai Mikasa," masuklah seorang pria dan wanita paruh baya yang dibelakang mereka ada seorang perempuan berambut pirang bermodel mangkuk sambil menggendong seorang anak kecil yang terlihat sangat mirip dengan sang ibu. Mikasa kenal, itu adalah ayah, ibu, Yelena dan Ovi.

"Bagaimana keadaanmu, nak?" tanya Carla ramah seraya mengelus rambut Mikasa. Ia mencoba untuk tersenyum padahal suasana hatinya sedang sangat buruk saat ini.

"Baik, cuman agak susah gerak aja," jawab Mikasa dengan lirihnya.

"Itu berarti, tubuhmu minta untuk beristirahat. Kamu istirahat ya, nak. Jangan banyak pikiran dulu," titah Grisha yang tersenyum sambil terus mengusap-usap bahu istrinya.

Mikasa menatap sang ibu. Mata hazel ibunya berkaca-kaca, menahan air mata yang memaksa untuk keluar. "Ibu," lirih Mikasa memanggilnya. "Di mana Eren?"

Carla tidak tahan, dia tumpahkan semua kesedihannya. Ia menangis sambil mencengkeram baju suaminya. Grisha juga, matanya berkaca-kaca dan ia memeluk erat sang istri.

Mikasa semakin tidak mengerti apa yang telah terjadi. Di lihatnya Yelena, semoga wanita itu bisa menjawab pertanyaannya, namun Yelena juga sama. Ia menangis begitupun dengan Ovi yang masih digendongannya. Sebenarnya, ada apa? Apakah terjadi sesuatu yang buruk dengan Eren?

"Mikasa, kami keluar dulu, karena teman-temanmu di sini, mereka juga ingin menjengukmu," ujar Grisha yang kemudian memapah Carla. Kalau saja istrinya tidak dipegangi, pasti dia bisa langsung ambruk ke lantai.

Dandelion ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang