Sayap Pelindung

251 31 17
                                    

SUDAH DIREVISI


"Apa? Kenapa omset bisa turun kaya gini? Kalau gini terus perusahaan saya bisa bangkrut." bentaknya kepada seorang wanita yang sudah pasti itu adalah sekretarisnya.

"M-maaf, Pak. Tapi memang seperti itu kenyataanya. Karena belakangan ini Bapak sering mengeluarkan uang perusahaan yang lumayan banyak." jelasnya sambil menunduk.

Maulana menggebrak meja kerjanya, "Maksud kamu, kamu nyalahin saya?" bentaknya lagi tatapannya sangat tajam yang membuat sekretarisnya ketakutan dan Ia hanya bisa menundukan kepalanya dalam-dalam.

"B-bukan begitu, Pak." ujarnya merasa bersalah.

"Kamu saya pecat!" ucap Maulana tegas tanpa bantahan.

"T-tapi, Pak."

"Keluar! Keluar dari ruangan saya!" usirnya kejam.

"T-tapi, Pak."

"Kamu tidak usah khawatir, nanti saya kasih pesangon. Tapi sekarang saya minta kamu keluar dari ruangan saya segera." titahnya, tatapannya sangat tajam seperti singa yang ingin menerkam mangsanya.

"Ba-baik, Pak." ucap sekretarisnya kemudian berlalu cepat meninggalkan Bos nya itu.

Maulana menggebrak mejanya lagi, tangannya mengacak rambutnya prustasi. Bajunya sudah tak terarah, lusuh dan berantakan.

Maulana pulang dengan keadaan emosi dan kecewa yang masih membekas, rumah dalam keadaan sepi. Maulana memutuskan untuk membersihkan dirinya agar badan dan pikirannya juga bersih.

Setelah selesai Maulana beranjak menuju halaman belakang sambil membawa secangkir kopi yang tadi dibuatkan Bi Inah.

Saat sudah sampai Ia mendudukan dirinya disebuah bangku, tangannya terulur untuk mengambil selembar koran minggu lalu yang berada di kolong meja. Yang sama sekali belum dibacanya karena Ia sibuk bekerja dan sibuk mengurusi kemauan Ajeng yang sangat banyak. Minta apartemen lah minta tas branded lah, minta mobil mewah ya apalah itulah. Yang akhirnya membuat perusahaanya di ambang kebangkrutan.

Setelah berhasil mendapatkannya, Maulana mencoba membaca lembar demi lembar yang tersaji dikorannya.

Seorang pengusaha di isukan bangkrut karena tunggakan yang menumpuk.

Begitulah kira-kira judul isi koran yang dibaca Maulana saat ini, tangannya mengepal. Berita itu memang bukan tertuju padanya tapi entah kenapa Ia sedikit merasa tersinggung.

"Ayah?" ucap Faiza.

"Mmmm... apa sayang?" jawabnya, Maulana berusaha menyembunyikan kekesalannya.

"Mmmm...Ayah apakah Iza boleh memakai cadar?" tanya Faiza, senyum Maulana luntur seketika.

"Apa? Apa hijab lebarmu itu belum cukup?" tanyanya seolah menyudutkan, pandangannya menatap tajam putrinya.

"Aku hanya ingin menyempurnakan pakaianku Ayah"

"Apa kamu mau dibilang teroris?" tanyanya lagi.

"Tap...tapi Ayah Aku hanya ingin menjaga diriku" bela Faiza, Faiza sudah kehabisan kata-kata.

"Kalau Ayah bilang enggak ya enggak, atau Ayah gak izinin kamu untuk berhijab?"  Maulana mengancam Faiza kemudian berlalu meninggalkannya begitu saja.

"Tap...tapi Ayah" ucap Faiza airmatanya sudah tak bisa  Ia bendung lagi.

Izinkan Aku Bercadar (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang