Tiga bulan berlalu, namun masih tidak ada tanda - tanda Arsen akan sadarkan diri. Hari - hari Faiza sempatkan untuk menjenguknya, namun semua tetap sama. Arsen masih tidak bergeming. Beribu doa sudah Faiza langitkan, nyatanya takdir berkata lain. Sampai hari ini pun mata Arsen enggan untuk terbuka.
Faiza meraba saku gamisnya untuk menghubungi Fahri, Fahri sedang sibuk akhir - akhir ini, terlebih sekarang Fahri adalah mahasiswa akhir semester jadi wajar saja jika Ia sangat sibuk.
Faiza sedang berada dikampusnya kali ini, suasana kali begitu sepi, atau entah hanya perasaanya saja. Hanya ada Fadil disini, kehidupannya begitu kelabu semenjak Arsen koma. Aisyah dan Sintiya sudah jarang sekali menghubunginya. Terlebih Sintiya yang kini sedang mengabdi didaerah pedalaman menjadi seorang penyelamat. Sudah hampir empat bulan lamanya. Setelah lulus memang Sintiya langsung direkrut untuk menjadi abdi dibidang kesehatan didaerah terpencil. Sedangkan Aisyah masih bisa dihubungi tapi akhir - akhir ini Ia sangat sibuk mengurusi bisnis butiknya. Semuanya hilang, hanya Fadil yang tersisa.
"Za," Faiza terperanjat untung saja ponsel yang berada digenggamannya tidak terjatuh. Faiza baru saja mengabari Fahri bahwa setelah kelas usai seperti biasa Faiza akan menjenguk Arsen yang masih belum sadarkan diri dari koma.
Faiza melirik Fadil sekilas, "Apa?"
"Kamu mau jenguk Pak Arsen 'kan?" tanya Fadil yang langsung diangguki oleh Faiza.
"Aku ikut ya? Siapa tau ada Pak Fauzan disana." ya, semenjak Fadil bertemu dengan Fauzan dirumah sakit kala itu, Ia seperti merasa ada getaran aneh. Fadil rasa Fauzan bisa masuk dalam kriteria calon masa depannya.
Faiza menggelengkan kepalanya, "Tetap tanamkan rasa malu, Dil." Faiza hanya takut sahabatnya itu kehilangan daratan saat bertemu Pak Fauzan. Seolah tidak ada malu - malunya.
"Iya, iya, usaha boleh kali." gurau Fadil.
"Usaha dalam doa 'kan bisa." ujar Faiza sewot, jangan tanya kenapa! Moodnya sedang buruk. Maklum sedang jadwal bulanannya.
"Iya, iya. Tapi aku boleh ikut ya?!" pintanya dengan mata puppy eyes. Tak ada alasan untuk menolak. Lagi pula Faiza sedang membutuhkan tumpangan untuk kesana.
"Boleh. Tapi ada syaratnya!" usul Faiza yang membuat Fadil menghembuskan napasnya jengah. Sahabat yang satu ini benar - benar, gak tau apa sahabatnya lagi jatuh cinta. Batin Fadil mendumel.
"Apa?" tanyanya sudah kelewat jengah.
"Nebeng." satu kata yang terlontar dari mulut Faiza yang sukses membuat Fadil berdecak.
"Iya, apa sih? Yang nggak buatmu tuan putri."
"Giliran ada maunya aja pake tuan putri." umpat Faiza dalam hati.
"Astaghfirullah....gak boleh ngumpat. Kenapa kalau lagi PMS susah kali ngendaliin emosi. Hadeuhh.." tambah Faiza dalam hati tentunya. Kalau terlontar langsung bisa mati dia.
Allah SWT berfirman:وَيْلٌ لِّـكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ ۙ
wailul likulli humazatil lumazah"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,"
(QS. Al-Humazah 104: Ayat 1)"Yaudah yuk," ajak Faiza, Ia harus bisa mengendalikan diri dengan baik. Mau bagaimana pun juga Ia tidak bisa seenaknya berlaku seperti itu kepada sahabatnya. Ah, Faiza jadi merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Bercadar (END)
Novela Juvenil#Karya 1 "Ayah?"Ucapku. "Mmmm...Apa Sayang?" jawab Ayahku. "Mmmm...Ayah apakah Aku boleh memakai cadar?" tanyaku, ku lihat raut wajah Ayah. "Apa? Apa hijab lebarmu itu belum cukup?" Ayahku menatap tajam kearahku. "Aku hanya ingin menyempurnakan pak...