Polisi Aneh

237 34 49
                                    



Faiza sedang mengikuti kelas siang kali ini, Ia nampak sedikit kurang fokus saat dosen sedang menjelaskan materi. Fikirannya masih terbawa oleh perkataan Ayahnya semalam.

"Ayah mau nikah lagi." serunya semalam.

"APAA.." syok mereka bersamaan.

"A-ayah bercanda 'kan?" ucap Faiza yang tidak percaya dengan perkataan Ayahnya, sedangkan maulana nampak menggelengkan kepalanya bertanda bahwa yang Ia ucapkan itu memang benar kenyataannya.

"Sama siapa?" tanya Fahri tak suka. Namun, masih dengan nada halus.

Faiza dan Fahri memutuskan untuk tidak mau lagi mempunyai Ibu setelah sepeninggal Mirna. Karena dimata mereka Mirna lah satu-satunya Ibu yang mereka sayangngi, dan mereka juga selalu khawatir jika Ibu tirinya kelak tidak seperti Mirna Ibu kandungnya.

"Nanti Ayah kenalkan." ujarnya seraya tersenyum.

Faiza berdecak sebal secara tidak langsung Ia menunjukan keinginannya bahwa Ia tidak mau mempunyai Ibu baru, "Ayah, bukannya Ayah sangat mencintai Bunda. Kenapa Ayah mau nikah lagi?" ucap Faiza matanya mulai mengkristal, cairan bening nampak sudah siap meluncur kapan saja.

Maulana terdiam, Ia memang sangat mencintai Mirna, tapi Maulana juga tidak bisa mengelak bahwa Ia mulai mencintai wanita yang selama ini selalu menemaninya, yang perlahan membuatnya nyaman.

"Bunda akan tetap ada dihati Ayah." ucapnya sambil memegang dadanya.

"Kalian setuju 'kan?" ucapnya penuh permohonan.

Mereka nampak saling pandang, Faiza menggelengkan kepalanya cepat mengisyaratkan bahwa Ia tidak menyetujuinya.

Kemudian berlalu begitu saja dengan air mata yang sudah luruh, sambil menghentak-hentakan kakinya. Terkesan kurang sopan memang. Tapi, apalah daya Faiza melakukan itu tanpa rencananya. Rasa kesalnya yang membuatnya bertingkah seperti itu, sementara Maulana nampak memanggil putrinya.

"Faiza jawab Ayah!" perintahnya.

Faiza membalikan badannya saat sudah mencapai setengah tangga penghubung dengan kamarnya. Wajahnya nampak lusuh dengan airmata. Mata dan hidungnya memerah.

"Iza perlu waktu, Yah." ungkapnya sambil menyeka air mata yang terus saja berjatuhan, kemudian melanjutkan langkahnya kembali agar bisa segera sampai dikamarnya guna membantingkan tubuhnya dikasur dan menangis sepuasnya disana.

Maulana beralih menatap Fahri putranya.

"Kamu setuju 'kan Fahri?" ucapnya.

Fahri terdiam sejenak "Fahri perlu waktu, yah." Fahri meng-copy perkataan adiknya tadi.

"Maaf  yah, Fahri keatas dulu" pamitnya.

Kemudian Fahri berlalu meninggalkan Maulana sendiri dengan wajah yang memerah padam karena kesal dan kecewa terhadap kedua anaknya. Tangannya mengepal kuat kemudian beranjak bangun dari duduknya.

Izinkan Aku Bercadar (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang