Menerima takdir memang tidak semudah membalikan telapak tangan, terlebih jika takdir itu sangat menyakitkan.
Merelakan dan mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menerima takdir Tuhan, tidak selamanya yang kita inginkan akan kita dapatkan. Allah tahu apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.
Mungkin dari hilangnya harta dan hilangnya kewarasan Maulana menjadi tamparan jika Faiza sudah lalai akan perintah-Nya. Faiza hanya bisa ikhlas menghadapi semuanya.
Faiza tahu rasa sakit yang Ia rasakan bukan hanya berlaku padanya, namun juga untuk Kakaknya dan Pamannya.
Tatapannya kembali kosong, perih rasa diperutnya nampak tidak membuatnya enyah dari ruangan berdominasi putih itu. Meskipun baik Dokter dan Kakaknya melarang keras Faiza berada disana.
Luka jahitan itu tidak akan sembuh hanya dalam waktu satu hari, Ia harus banyak - banyak beristirahat agar kondisinya segera pulih. Tapi Faiza yang keras kepala tetap bersikeras untuk menemani Ayahnya. Pihak rumah sakit tidak akan menanggung risiko jika terjadi sesuatu kepadanya. Karena Faiza terus saja menolak kala dirusuh untuk beristirahat, bahkan Faiza sudah menandatangani surat pernyataan bahwa Ia tidak akan menyalahkan pihak rumah sakit jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya.
Fahri hanya bisa pasrah begitupun dengan Raihan, Faiza sangat sulit dibujuk apalagi hal ini menyangkut tentang keluarganya.
Faiza tidak mungkin membiarkan Ayahnya sendirian meskipun ada Fahri dan juga Raihan yang pasti akan menjaga Ayahnya. Bukannya tidak percaya, tapi Faiza hanya ingin menghabiskan waktu bersama Ayahnya sebelum Ia benar - benar berpisah dengan Ayahnya, meskipun sewaktu - waktu Faiza bisa menjenguknya. Tapi tetap saja rasanya berbeda karena mereka tidak akan tinggal dalam rumah yang sama lagi, karena siang nanti Ayahnya akan segera dipindahkan ke rumah sakit jiwa.
Faiza masih setia melamun, Ia memikirkan apa ini jalan yang baik untuk Ayahnya. Apa keputusan yang Ia dan kedua Kakaknya ambil itu adalah jalan yang benar.
"Bissmilah, bantu hamba Ya Allah...." gumamnya.
Faiza teringat dengan handphonenya itu, kemana benda itu? Seingatnya benda itu ada di Pria yang tak lain adalah kekasih Ajeng. Disisi lain Faiza merasa lega karena Ajeng sudah berhasil ditangkap dan mau tidak mau Ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Namun, Ia teringat kala ada tugas kuliah yang harus dipersentasikan sekarang. Hatinya mulai gusar.
"Ya Allah....Fadil pasti nyariin Iza." lirihnya.
Faiza beranjak mendekat kearah sang Kakak yang juga tengah termenung disofa, sementara Maulana masih terlelap kala mendapat suntikan penenang dari Dokter. Dan Raihan sedang membayar administrasi dirinya dan juga Ayahnya.
Dalam hati Faiza sangat merasa tidak enak karena telah merepotkan Pamannya, tapi apalah daya Ia hanya bisa manut karena memang Ia sudah tidak punya apa - apa.
Hidup tidak selamanya berada diatas, kehidupan layaknya sebuah roda yang berputar. Kadang Ia diatas, kadang pula dibawah. Semua sudah menjadi garis takdirnya. Kita sebagai makhluk hanya bisa bersabar, toh, harta yang kita punya itu bukan milik kita. Tapi milik Allah, yang sewaktu - waktu Allah bisa menariknya lagi dari kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Bercadar (END)
Teen Fiction#Karya 1 "Ayah?"Ucapku. "Mmmm...Apa Sayang?" jawab Ayahku. "Mmmm...Ayah apakah Aku boleh memakai cadar?" tanyaku, ku lihat raut wajah Ayah. "Apa? Apa hijab lebarmu itu belum cukup?" Ayahku menatap tajam kearahku. "Aku hanya ingin menyempurnakan pak...