"Ma- maksud Bapak?"
"Say--"
"ARSEN." panggil seseorang yang membuat Arsen mengurungkan niatnya untuk berbicara.
Arsen melirik orang itu cepat, dari suaranya Arsen lumayan hapal siapa orang yang memanggilnya itu.
Orang itu berjalan mendekat dengan sedikit berlari.
"Kamu?" herannya saat sudah berdiri tepat disamping Arsen, matanya membelalak kala mendapati Faiza disana, begitupun dengan Faiza. Keduanya benar - benar kaget dan heran.
"Dokter?" heran Faiza.
"Arsen, kamu ngajakin aku ketemuan disini 'kan?" tanya Lathifa memastikan, kemudian Arsen menganggukan kepalanya.
"Terus, dia kenapa ada disini?" tanyanya heran.
Arsen menatapnya tajam, "Jelaskan apa maksud kamu bikin surat undangan palsu ini?" desaknya sambil menyodorkan sebuah benda yang tak lain dan tak bukan adalah surat undangan yang dibuat Lathifa.
Setelah dihubungi Raihan semalam, Arsen terus saja tidak bisa tidur, pikirannya masih melayang - layang entah kemana. Kepalanya berdenyut, siapa sebenarnya yang tega membuat surat undangan palsu itu.
"Andai Saya mempunyai keberanian untuk berkata jujur. Mungkin kamu tidak akan merasakan sesakit ini?" batinnya.
"Tunggu!" gumamnya, Arsen mengingat sesuatu. Ia terlihat meraih sesuatu diatas nakas tempat tidurnya. Kemudian badannya Ia dudukkan dan punggungnya dibiarkan tersandar didipan.
Arsen kembali melihat foto surat undangan yang Raihan kirim tadi dengan saksama. Alisnya nampak berkerut seolah sedang berpikir keras.
"Lathifa?" gumamnya, saat membaca nama yang disandingkan dengannya diatas kertas hitam itu.
"Lathifa? Siapa dia?" gumamnya, Ia berusaha mengingat - ingat sesuatu.
"Gue tau." ucapnya, kemudian Ia nampak turun dari ranjangnya, lantas kakinya berjalan mengarah kesebuah lemari yang tak lain dan tak bukan adalah lemari miliknya.
Arsen nampak memeriksa tumpukan pakaian rapihnya dengan saksama, namun barang yang Ia cari nyatanya tidak ada disana.
Kemudian Ia bergegas turun dari kamarnya, malam sudah cukup larut. Dalam hati Arsen sedikit merasa khawatir jika harus membangunkan Mamanya tengah malam seperti ini.
Ia sudah mendaratkan kakinya dengan selamat ditangga terakhir rumahnya, langkahnya Ia arahkan menuju kamar kedua orang tuanya. Saat Ia sudah sampai, tangannya nampak sedikit ragu untuk mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya.
Ia menarik kembali tangannya, Ia khawatir jika Ia mengetuk pintu itu justru akan membuat orang tuanya terganggu. Tapi, Ia harus bertemu dengan Mamanya sekarang.
Arsen mengangkat tangannya lagi guna mengetuk pintu itu. Tapi, lagi - lagi Ia mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Bercadar (END)
Teen Fiction#Karya 1 "Ayah?"Ucapku. "Mmmm...Apa Sayang?" jawab Ayahku. "Mmmm...Ayah apakah Aku boleh memakai cadar?" tanyaku, ku lihat raut wajah Ayah. "Apa? Apa hijab lebarmu itu belum cukup?" Ayahku menatap tajam kearahku. "Aku hanya ingin menyempurnakan pak...