Suasana malam ini cukup pekat, seorang pemuda tengah termenung dibalkon kamarnya. Udara dingin yang menusuk nampak tidak mengusiknya sama sekali, Ia terlalu sibuk bersiteru dengan pikirannya sendiri.
Raganya mungkin tengah berdiam disana, namun entah dengan pikirannya. Matanya terpejam sesaat dan terbuka kembali. Ia menengadahkan pandangannya guna menatap hamparan bintang dan bulan yang bersinar sangat terang. Dalam batinnya Ia mengagungkan nama Allah, Tuhan semesta alam. Masyaallah.
Sejenak Ia melupakan apa yang dikatakan orang tuanya selepas makan malam tadi, tapi nyatanya perkataan itu masih terus saja berseliweran dipikirannya, seolah meminta untuk dipikirkan. Padahal Arsen sudah mencoba untuk melupakannya.
Hatinya masih sangat kecewa kala lagi - lagi gagal menjenguk sang pujaan hatinya siang tadi, namun malam ini pikirannya juga nampak tambah kacau. Ia bingung bukan kepalang, permintaan ini sungguh berat.
"Nak, Kamu sayang 'kan sama Papa dan Mama?" tanya Gusman dengan mata yang terlihat sangat sendu.
Arsen mengernyit heran, Ia melirik sang Ayah namun tangannya masih setia mengupas kulit jeruk. "Maksud Papa?"
Gusman menghela napasnya gusar, "Papa udah tua, Sen. Papa juga gak mungkin terus - terusan mengurus perusahaan. Papa ingin Kamu berhenti jadi polisi dan terusin perusahaan Papa." pintanya dengan mata berkaca - kaca.
Seketika jeruk yang ada digenggamanya terjatuh, matanya pun ikut berkaca - kaca. Lagi - lagi ini yang dibahas oleh kedua orang tuanya. Maryam yang berada disampingnya pun turut serta untuk mengelus punggung sang anak, berharap bahwa sang anak akan luluh dan bisa jauh lebih tenang.
Arsen menghela napasnya cukup dalam, "Arsen pikirkan lagi, Pa." ucapnya seraya menunduk.
Gusman tersenyum getir kemudian menepuk bahu anaknya lembut yang membuat Arsen menatapnya seketika, "Mungkin Papa egois, tapi ini demi kebaikanmu, Nak. Papa terlalu cemas apalagi setelah beberapa waktu yang lalu Kamu ketusuk saat bertugas. Papa takut kehilangan Kamu, Sen." ungkap Gusman lantas satu titik air mata berhasil turun dari pelupuk matanya.
Arsen mendadak terenyuh, "Tapi, dulu Papa dan Mama mengizinkan Arsen untuk jadi polisi." ujar Arsen tak terima, Ia masih bersikeras atas pendiriannya.
"Mama tau, Nak. Bukankah Allah maha membolak balikan hati? Kami takut kehilangan Kamu, Nak. Kamu satu - satunya yang Kami punya." Maryam ikut menimpali, Arsen menatap Mamanya sendu. Pandangan mereka bertemu, Arsen dapat melihat raut kekhawatiran yang jelas terpancar dari netra indah itu.
Arsen kembali terenyuh, pasalnya memang Ia tidak memiliki saudara lagi. Gusman dan Maryam hanya memiliki satu anak dari pernikahannya dan anak itu adalah Arsen.
Arsen tidak ingin mengecewakan keduanya, keduanya amat sangat berharga bagi hidupnya.
"Iya, Arsen turuti kemauan kalian." final Arsen.
Arsen lebih baik kehilangan apa yang sudah Ia capai dan Ia perjuangkan, dari pada harus melihat raut kesedihan dari kedua orang tuanya. Arsen hanya ingin membahagian keduanya selagi mereka masih ada, mungkin sangat berat untuk melepaskan apa yang selama ini Ia perjuangkan tapi kebahagiaan orang tuanya jauh lebih berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Bercadar (END)
Teen Fiction#Karya 1 "Ayah?"Ucapku. "Mmmm...Apa Sayang?" jawab Ayahku. "Mmmm...Ayah apakah Aku boleh memakai cadar?" tanyaku, ku lihat raut wajah Ayah. "Apa? Apa hijab lebarmu itu belum cukup?" Ayahku menatap tajam kearahku. "Aku hanya ingin menyempurnakan pak...