XXVII

95 20 0
                                    


SE-IMAN tak SE-AMIN

Vania tersenyum menatap Sajidah. Hatinya menjadi semakin tenang kala mendengar nasehat dari umi nya.

Entah apa yang akan Vania lakukan jika tidak memberi tahu Sajidah, mungkin saja Vania akan mengambil jalan yang salah.

"Vania sayang umi, " gumam Vania semakin mengeratkan pelukannya.

Salma mengangguk, ia tersenyum juga mencium dahi Vania pelan-pelan. "Umi juga sayang Vania. "

***
Hari ini Abdullah sengaja membicarakan kembali tentang perjodohan Vania dan Farel. Abdullah juga mengundang Ridwan serta keluarga untuk berpartisipasi dalam kebahagiaan ini.

Bahagia? Ya. Pasalnya, pagi tadi Vania sudah mengambil keputusan matang-matang. Entah karna terpaksa atau tulus dari dalam hati, Vania sudah mengambil keputusannya untuk menerima perjodohan itu.

Bagaimana dengan Farel? Tentu saja Farel belum tahu tentang perjodohannya. Tapi Satria dan Vanesha sangat yakin kalau Farel akan menerima perjodohan itu dengan baik.

Mereka memang tidak mengetahui kalau selama ini Farel juga menyukai Vania, tapi entah kenapa dugaan Vanesha dan Satria kepada putranya itu sangat yakin akan Farel yang mau menerimanya.

"Saya tahu kalau keluarga abi Satria masih berduka dengan kepergian nak Firman. Tapi alangkah baiknya kita belajar mengikhlaskan kepergian nak Firman, agar Firman bisa pergi dengan tenang. " Abdullah memulai ucapannya.

Semua orang disana terhening. Mendengarkan ucapan Abdullah, semuanya langsung berpusat kepada sang empu yang tengah memulai pembicaraan.

Kali ini Satria yang berbicara, "kami segenap keluarga Firman mengucapkan maaf yang sebanyak banyaknya karna telah terjadi kecelakaan dalam perjodohan nak Vania dengan putra kami. Saya juga sudah membicarakan baik baik dengan abi Abdullah, tentang perjodohan Vania dan Farel. "

Vania tertunduk, mulutnya berkata iya. Tapi entah kenapa hatinya sangat sulit dibuka membiarkan seseorang singgah.

"Jadi, bagaimana dengan Vania sayang. Apa Vania mau menerima perjodohan ini? " tanya Vanesha, yang berhasil membuat Vania menjadi pusat perhatian.

Vania mengangkat wajahnya. Ia tersenyum, memperlihatkan sebuah senyuman yang sulit di artikan.

"Vania terima umi, " sahut Vania membuat semua orang mengucap hamdallah.

Sajidah tersenyum kecil, dia tahu perasaan Vania saat ini. Sajidah juga tahu kalau Vania menerima perjodohan itu semata mata karna Abdullah. Demi abi nya.

Tapi disisi lain Sajidah juga lega. Ia yakin kalau pilihan suaminya tidak akan salah.

"Alhamdulillah, " ucap semua orang berbahagia.

Semuanya tersenyum bahagia dengan penerimaan Vania atas perjodohan tersebut. Tapi tidak dengan seseorang.

Hatinya sakit, sangat sakit. Seakan harapannya untuk menggapai orang yang ia cinta sudah tertutup. Tertutup rapat, melarang lawan jenisnya yang lain singgah.

Dadanya sangat sesak. Ingin sekali ia mengutarakan semua isi hatinya, tapi mulutnya kelu. Salma tahu, dia tidak mempunyai hak sedikitpun atas bahagianya orang yang dicinta dengan perempuan lain.

***
Plak...

Ridwan membulatkan matanya sempurna. Ia menatap Muslimah tidak percaya karna tindakannya yang sudah menampar pipi Salma.

Muslimah mengepalkan kedua tangannya. Amarahnya semakin memuncak ketika melihat Salma menangis.

"Salma! Umi tidak pernah mengajarkan kamu untuk berpikir licik seperti ini. Umi tidak pernah membayangkan kalau ternyata anak satu-satunya umi bisa berpikir serendah ini! " bentak Muslimah habis-habisan.

Flashback On...
Muslimah mengedarkan pandangan sekitar. Kemana semua orang? Salma tidak ada, Salamah tidak ada, Ridwan pun tidak ada.

Setelah tarawih, keluarga Ridwan selalu berpencar. Berbeda dengan keluarga Abdullah yang selalu kompak.

Muslimah yakin kalau Salma pasti bergabung pulang dengan Vania dan keluarga. Begitupun Ridwan dan Salamah. Atau mungkin saja yang memisahkan diri itu Muslimah, bukan ketiga orang tadi.

Muslimah menghela napas pelan. Sambil menunggu orang rumah pulang, lebih baik ia membaca koran tadi pagi yang belum sempat ia baca.

Ditengah aktifitasnya, samar samar Muslimah bisa mendengar isakan tangis seseorang. Hal itu berhasil membuat sang empu memberhentikan bacaannya. Dan Muslimah, kini ia berjalan pelan mencari sumber suara.

Cklek..
Muslimah terlonjak kaget, spontan ia menoleh ke pintu awal rumah dan berhasil mendapati Ridwan yang tengah menatapnya bingung.

Muslimah mendekati suaminya. Ia menunjukan jari telunjuk yang ditempelkan didepan mulut untuk menandakan diam.

"Abi denger itu kan? " tanya Muslimah berbisik.

Ridwan semakin dibuat bingung dengan tingkah isterinya ini. Tapi memang benar, Ridwan bisa mendengar samar-samar isakan tangis seseorang.

"Iya umi, abi dengar. "

Tanpa mengucapkan kalimat lagi, Muslimah langsung menggandeng tangan Ridwan dan membawanya ikut mencari sumber suara.

Pelan pelan, Muslimah dan Ridwan mulai menemukan sumber suara tersebut. Dan saat itu juga keduanya sempat terkejut karna sumber tangisan itu ternyata dari dalam kamar Salma.

"Dengerin bi, diem. " pinta Muslimah memelankan suaranya.

Keduanya terdiam. Mulai mendengarkan apa saja yang akan Salma ucapkan sendiri tanpa tahu ada yang mendengarkan semua kata katanya.

Didalam kamar, Salma terisak. Matanya sembab, sang empu mencengkeram kuat dadanya yang semakin terasa sesak.

Sakit hati? Ya.

"Apa perlu Salma juga nyusul bang Firman agar Salma nggak ngerasain sakit ini. Ya Allah, rasanya sakit. Sangat sakit, " lirih Salma masih setia terisak.

"Salma manusia biasa. Salma nggak bisa berucap baik ketika sakit. " Salma menghapus pelan air matanya.

"Apa perlu Salma pergi sekarang? Abi, umi, maafin Salma. Salma nggak bisa nanggung semua ini sendirian."

"Teruntuk kalian yang lagi baca ini, mungkin kalian sempat berfikir saya alay. Tapi kalian nggak tau rasa sakit yang saya rasakan. "

"Selamat tinggal abi, selamat tinggal um-"

Glubrak..
Ridwan mendorong paksa pintu kamar Salma. Sang empu pemilik kamar spontan menoleh, dan saat itu juga tolehannya langsung mendapatkan tamparan kasar dari Muslimah.

Flashback Off..

"Umi kecewa sama kamu Salma! Nggak seharusnya kamu lakuin ini! Kamu lupa? Bunuh diri itu dosa besar Salma! " teriak Muslimah histeris.

Ridwan yang tidak tega dengan Salma, ia langsung memeluk erat tubuh putrinya.

"Apa kalau Salma suka sama seseorang umi? Salma tahu itu. Terlebih orang itu adalah calon suami sahabat Salma sendiri. "

Degg..

Bukan hanya Muslimah yang terkejut, tapi Ridwan juga kini ia langsung menjauhkan Salma dari dalam dekapannya.

"Salma tau itu salah. Salma juga nggak pernah minta untuk diberi rasa suka kepada laki-laki yang menjadi calon suami sahabat Salma. Tapi rasa itu datang sendiri, sakit rasanya menyaksikan ini semua. Sakit umi, sakit. "

Salma merobohkan tubuhnya. Meskipun demikian, amarah didalam diri Muslimah tak kunjung hilang malah semakin membesar.

"Kamu ini tidak tabu malu-"
"Cukup! "

Next Part
.
.
.
.

Ig. uv.heart01

Writer: 24 Maret 2021
Update: 27 Maret 2021

SE-IMAN TAK SE-AMIN [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang