XXXVIII

129 20 0
                                    


SE-IMAN tak SE-AMIN

Samar-samar Farel membuka kedua matanya pelan. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit rumah sakit bernuansa putih.

Kedua, Farel bisa melihat Satria yang tengah menangisinya.

"Pa, " lirih Farel namun tak mendapat jawaban.

Mungkin saat ini Satria marah. Marah karna sudah tahu sesuatu terjadi dengan Farel. Mengapa Farel tidak memberitahunya? Benar benar bodoh sekali anak ini.

Satria membuang muka, bukannya merasa bersalah Farel malah terkekeh kecil melihat tingkah papanya.

"Pa, jangan diemin Farel. "
"Siapa kamu panggil saya papa. Seorang anak tidak akan menyembunyikan hal sebesar ini dari orang tuanya! " tegas Satria yang tampaknya masih marah.

Farel menghembuskan napas pelan, ia mengambil posisi duduk yang saat itu juga langsung dibantu oleh Satria.

"Oh, jadi papa udah tau ya. "

Satria menatap Farel dengan tatapan penuh kekecewaan.

"Kenapa kamu sembunyiin ini semua dari papa? "

Lagi lagi Farel tertawa kecil, "tadinya Farel mau ngasih tau papa, tapi semuanya terjadi gitu aja. Nggak sempet deh Farel ngasih tahu papa." sahut Farel yang sama sekali tidak Satria percaya.

Jam menunjukkan pukul lima pagi. Farel menepuk dahinya pelan karna telah melupakan sholat subuh.

"Astaghfirullah pa, Farel lupa belum sholat subuh. " ucap Farel mengalihkan perhatian.

Satria yang sadar akan Farel mengalihkan perhatian, dia hanya tersenyum getir menanggapi semua itu.

"Kamu masih sakit, "
"Terus kalau maut jemput Farel, yang akan jadi bekal Farel apa pa selain sholat? "

Degg..

Satria menatap Farel tidak percaya. Bukannya marah karna Farel telah membantahnya, Satria tidak percaya karna Farel sekarang sangat berbeda dengan Farel dulu.

"Papa mau bantu Farel? "
"Bantu apa? "
"Bantu Farel ambil air wudhu. "

***
Setelah sholat subuh, Farel kembali membaringkan tubuhnya diatas ranjang inapnya.

Senyuman diwajah Farel tidak pernah luntur. Farel memejamkan kedua matanya, dengan tangan kiri yang terbalut tasbih untuk bersholawat.

"Rel, " panggil Satria, membuat pejaman mata Farel kini membuka pelan.

"Iya pa? "

Farel bisa melihat ditangan Satria yang tengah membawa penampan. Diatasnya terdapat bubur putih, air minum, serta obat.

"Makan dulu, habis ini minum obat." ucap Satria sambil meletakkan nampan itu diatas meja.

Farel menggelengkan kepala menandakan tidak setuju. "Nggak pa. Farel puasa, papa lupa ya ini bulan puasa? "

Satria menatap Farel antusias, "Rel, orang sakit nggak wajib puasa. Minum obat dulu biar cepat sembuh. "

Kali ini Farel juga menatap papanya antusias, "pa, yang ngasih kesembuhan itu Allah. Bukan obat. "

Lagi lagi Farel berhasil membuat Satria terkejut dengan ucapan-ucapannya.

"Tapi Rel-"
"Udah pa, sembuh atau nggak, Farel udah serahin semuanya sama Allah."

Entahlah, meskipun Farel sangat keras kepala, jujur Satria juga sangat bangga dengan putranya ini.

Satria mencium kening Farel pelan, "papa bangga sama kamu nak. "

Tidak lama kemudian, ponsel Farel berdering menandakan panggilan masuk.

Farel menatap Satria, ternyata yang menelpon adalah Vania. Sudah ada banyak panggilan masuk dari sang empu, tapi tidak Farel angkat karna baru kali ini ia mengaktifkan ponselnya.

"Angkat, " ucap Satria meyakinkan Farel.

Farel mengangguk. Ia menyentuh ikon hijau di ponsel, lalu menyeretnya keatas dan langsung terhubung dengan Vania.

"Assalamualaikum, "
"Waalaikumsalam. "

Farel tersenyum kecil ketika mendengar helaan napas Vania dari dalam telepon.

"Kak, kamu baik-baik aja kan? Kenapa nggak pulang? Ada masalah ya? Apa perlu Vania kesana? Terus, apa yang bisa Vania bawa-"

Mendengar serangan pertanyaan dari Vania, Farel dan Satria berhasil dibuat terkekeh kecil.

"Nggak kok, alhamdulillah nggak papa. Nggak ada masalah Van, cuma tadi malam aku ketiduran dikantor. " bohong Farel.

Satria tahu, kalau Farel tidak mau membuat Vania kepikiran, apalagi khawatir.

Sungguh, Satria tersenyum bangga melihat Farel yang sudah mulai berubah.

Diam diam, Satria memperhatikan tawa Farel dibalik rasa sakit. Disaat kondisinya tidak baik-baik saja, Farel masih bisa membuat orang lain tertawa lepas meskipun dari dalam ponsel.

***
Setelah memastikan Farel baik-baik saja, akhirnya Vania bisa menghela napas lega.

Entah kenapa, perasaannya sejak kemarin tidak pernah baik. Tapi tidak. Setelah Farel mengabarinya, Vania semakin yakin kalau semuanya baik-baik saja.

Hari ini Vania akan bermain ke rumah orang tuanya, dan pesantren. Mungkin saja dengan datangnya ia kesana, Vania akan semakin mendapat ketenangan yang lebih baik.

Sebelum Vania pergi sepenuhnya, tiba-tiba Revani me-ngeong. (gitu nggak sih 🤣).

Hal itu berhasil membuat Vania menghentikan langkah, lalu menjongkok dan menggendong Revani.

Hanya dalam waktu satu hari setengah, Vania mulai sudah terbiasa dengan kucing. Tidak lagi takut, dan semua itu berkat Farel.

Vania tersenyum kecil mengingat dia dan Farel kemarin malam. Mungkin saja itu akan menjadi kejadian pertama, dimana Vania dan Farel bisa bercanda gurau bersama.

"Ya Allah Vania, kok jadi mikirin kak Farel. " gumam Vania.

Meong..

Vania tersenyum kecil melihat Revani. Tangannya terulur mengelus kepala Revani dengan hangat dan sangat pelan.

"Umi mau pergi nak, Revani dirumah aja ya. Diluar panas, Revani nunggu abi aja disini ya. " ucap Vania, tertular Farel yang meng-halusinasi punya anak kucing.

Meong..

Vania tidak tahu bahasa kucing. Jadi ya sudah lah, Vania anggap saja kalau Revani setuju.

Vania meletakkan Revani diatas meja ruang tamu. Lalu ia kembali berdiri, dan pergi sepenuhnya meninggalkan Revani.

"Umi pergi ya, Assalamualaikum. "

Meong..

Next part.
.
.
.
.

Ig. uv.heart01

07.44 sabtu.

'Rebahan, is my life.'


Writer: 27 Maret 2021.
Update: 27 Maret 2021.

SE-IMAN TAK SE-AMIN [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang