02 | Dia, Raskal..

262 30 10
                                    

Banjarmasin, 2015.

Ini tahun ajaran terakhir Orchidea Tiara Indrizar dan siswa kelas sembilan lainnya berada di sekolah mereka, sebelum akhirnya melaksanakan Ujian Nasional dan memilih SMA favorit mereka.

Di saat anak lain tidak sabar menunggu hari esok, gadis yang dikenal dengan nama Oci itu justru berdoa agar hari esok tidak pernah datang. Jika anak lainnya sedang bercerita dengan orangtua mereka, Oci justru menutup erat telinganya.

Teriakan demi teriakan terdengar menggema hingga seluruh penjuru ruangan, serta bunyi barang yang sengaja dijatuhkan. Oci menutup telinga dan duduk meringkuk tidak jauh dari kamar orangtuanya berada. Yang ia tahu, saat ini kedua orangtuanya sedang bertengkar hebat.

Merasa tidak tahan dengan suasana rumahnya, gadis yang baru berusia lima belas tahun itu berlari keluar dan meninggalkan rumah hanya dengan menggunakan kaus tipis saja. Padahal suhu malam ini cukup dingin, ditambah lagi hujan baru saja berhenti.

Oci membawa dirinya ke arah taman yang berada di tengah kompleks perumahan. Ia duduk disalah satu ayunan yang ada dan menangis tanpa suara.

Ini sudah kesekian kalinya dalam minggu ini. Orangtuanya selalu bertengkar dan tidak tidur dalam satu ruangan yang sama. Sebenarnya Oci tidak sendiri, ia memiliki satu kakak perempuan yang berumur empat tahun lebih tua. Entah apa yang terjadi pada keluarganya saat ini. Seolah masalah lama kembali terulang.

Oci bukanlah anak kecil bodoh. Sejak berumur Sembilan tahun, orangtuanya sudah pernah berkelahi seperti ini. Bahkan hingga melibatkan banyak keluarga Oci. Dan kali ini sedikit banyak Oci sudah mengetahuinya, bahwa ayah nya memiliki wanita lain, selain ibunya.

Mengingat hal itu kembali membuat Oci menangis. Tidak ada yang bisa dilakukan gadis lima belas tahun sepertinya saat ini. Bahkan kakaknya memilih untuk mengurung diri di kamar, dibandingkan dengan memeluk dan menenangkan Oci.

Disisi lainnya, seorang anak laki-laki dengan crewneck hitam dan wajah kusut baru saja keluar dari minimarket sambil membawa sebuah tas plastik. Anak lelaki itu menguap lebar dan meminum soda kaleng yang baru saja ia beli.

"Yaa Gusti, tengah malam bolong kieu disuruh keluar. Ntar ada mami kunti kimana?" kesal anak lelaki itu.

Mendengarnya, seorang kasir wanita itu tertawa kecil dan menepuk bahunya, "Ini baru jam sepuluh, Kal. Tengah malem apanya?"

"Sama aja,"

"Buruan kamu balik. Nanti malah kena amuk Tetehmu."

Anak lelaki itu menghela napaskesal, "Balik-balik taunya ada yang nangis."

"Kamu tuh malah nakutin diri sendiri. Dasar!"

Anak lelaki menggindikkan bahu tak acuh dan berjalan meninggalkan minimarket yang ada di tengah kompleks.

Namanya Raskal Oktavian Irham, umurnya baru saja enam belas tahun. Dirinya sedang asik bermain game saat kakak kedua yang biasa ia panggil Teteh, mengetuk pintu kamar dan memberikan tugas Negara yang wajib Raskal turuti. Membeli sebuah pembalut di malam yang dingin!

Dengan ogah-ogahan Raskal mengikuti ucapan Tetehnya itu. Daripada ia terkena semburan Ilahi dari Abang dan Abahnya? Lebih baik Raskal mengalah.

Raskal berjalan dengan sebelah tangan yang masuk ke dalam saku. Suasana cukup gelap saat ini, namun tidak sedikitpun membuat Raskal ketakutan. Bocah lelaki itu justru sibuk menghitung berapa banyak jumlah bakso yang ibunya buat malam ini. Hingga saat sedang sibuk dalam pikirannya, langkah Raskal terhenti saat mendengar suara yang sempat membuat otaknya berhenti berpikir.

"Kok ada suara nangis, najis!" kejut Raskal.

Tetapi bukannya lari menyelamatkan diri, Raskal justru mencari darimana asal tangisan itu berada. Setelah beberapa saat mencari, Raskal akhirnya menemukan seorang gadis yang Raskal yakini seumuran dengannya itu sedang duduk meringkuk dengan kepala yang terbenam di antara kedua tangan.

[Sweet] RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang