35 | Tersamar Hujan

61 15 2
                                    

"Gak usah aja pulang, Dey. Seharian keluar seperti gk pnya rumah!"

pesan yang segera Oci hapus setelah membacanya dari notif bar itu benar-benar menghilangkan nyaris seluruh mood Oci hari ini. Susah payah ia membangun mood nya kini justru hilang begitu saja.

Kemana ia setelah ini? Jika Dewata masih di sini, rumah lelaki itu adalah tujuan utama Oci pergi. Namun saat ini ia sudah tak memiliki rumah untuk pulang. Oci menghembuskan napasnya malas. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam.

Tangannya sudah siap membuka gerbang pagar, ketika ibu nya mengirimkan pesan seperti itu. Oci mengurungkan niat untuk masuk. Baiklah, jika itu keinginan ibunya, maka ia tidak akan pulang malam ini. Toh, kembali sekarang atau esok akan sama saja konsekuensinya. Ia akan berakhir dengan banyak luka. Lebih baik ia menghabiskan waktu hingga esok untuk sedikit bersenang-senang. Tapi ke mana ia harus pergi?

Balik kanan, tujuan Oci pertama adalah menuju apotek dekat kompleksnya berada. Membeli obat vertigo sebelum memutuskan dimana ia akan menginap malam ini.

" Tolong Plasminex nya satu, Mba."

Oci yang mendengar seseorang baru saja tiba di sampingnya segera menyingkir tanpa menatap sekitar. Obatnya sudah ia dapatkan. Gadis itu buru-buru berbalik keluar. Ia baru saja mendapatkan pesan lain yang semakin memperburuk suasana hatinya.

"Mau jadi apa Orchidea blm pulang jam segini??"

yah, pesan tersebut dikirimkan ayahnya yang entah di mana saat ini. Oci mematikan ponselnya dan memasukan asal dalam tas . Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat.

"Udah jam segini kenapa belum pulang?"

Sepertinya itu suara yang sama ketika ia berada di dalam apotek tadi. Oci akhirnya menoleh saat mendapati seseorang sudah berada di sampingnya. Kening gadis itu mengerut, bagaimana mungkin ia tidak dapat mengenali suara tersebut sebelumnya?

Oci menatap Apotek di belakangnya. "Kak Saka dari tadi?"

Saka mengangguk dan memperlihatkan kantong obatnya. "Gue tadi liat lo, tapi agak ragu aja mau negur. Tatapan lo blank banget kayaknya."

"Plasminex?" Oci menatap obat yang kini masuk dalam saku jaket Saka. "Mimisan lo belum berhenti, Kak?"

"Lo tau obat ini?" Saka kembali bertanya.

"Untuk beberapa alasan, gue pernah make."

"Pernah make? Bahasa lo kayak orang make Narkoba, Ci," kekeh Saka menggeleng aneh. "Lo kenapa belum pulang? Dari pagi, kan?"

"Gue males pulang."

"Terus mau ke mana? Sepi gini jalanan. Jangan suka sendirian."

"Biasa juga sendirian kali."

Saka menatap gadis di sampingnya itu. "Yha itupun lo make barangnya Dewata, kan?"

"Lho? Tau dari mana?" aneh Orchid menatap Saka dengan tatapan menyelidik.

"Gue apasih yang gak tahu tentang Dewata?" jawab Saka menggindikkan bahu sekali. "Lagian di kota ini mana yang gak kenal Dewata? Wilayah dia luas kali."

"Maksudnya wilayah kalian berdua?" koreksi Orchid mengerlingkan mata.

Saka terkekeh. "Lo mau ke mana? Gue yakin lo gak bawa kendaraan."

"Belum kepikiran,"

"Lo kabur dari rumah ya?"

"Iya."

Saka terdiam. Ia tadinya hanya iseng bercanda, tetapi Orchid menjawabnya dengan nada cuek, seolah itu adalah hal yang benar. Lelaki itu menatap jam tangannya dan juga langit di atas sana. "Mau ke rumah gue?Ada anak-anak Helios di sana."

[Sweet] RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang