07 | should've been us

82 13 4
                                    

Mercedes-Benz E250 Coupe berwarna hitam metalic itu berhenti tepat di depan lobby hotel.

Dari dalamnya seorang lelaki dengan kaus putih dan jaket hitam itu keluar sembari mengusap rambutnya. Kacamata dengan lensa photocromic itu sedikit gelap kala cahaya lampu menerpa. Langkahnya sedikit bergegas, dan masih sempat tersenyum itu membalas sapaan bellboy yang ingin mengambil alih sang monster hitam menuju basement.

"Raskal!"

Raskal, sang pemilik nama, mengangkat sebelah tangannya untuk membalas sapaan itu. Bibirnya tersungging membentuk lengkungan senyuman.

"Javas!" balasnya mendekat. "Lama tidak bertemu, sobat. Bagaimana dengan Qatar?"

"Kabar baik," jawab Javas membalas pelukan ala lelaki Raskal. "It's been a long time."

Raskal mengangguk membenarkan. Ia menatap kursi tunggu di lobby.  Satu lainnya duduk sembari berbicara melalui telepon. Baru selesai ketika mata mereka bertemu. Saat itu, Raskal hanya bisa tersenyum tipis ketika satu dari mereka memutuskan pandangan.

"—yeah, i call you later," ujarnya menutup percakapan. Ia berdecak kecil, dan akhirnya berdiri. Memperbaiki jas yang ia gunakan.

"Arkasa, lama—"

"Gue balik duluan, lo berdua udah ketemu, kan?" potong Arkasa menoleh pada Javas.

Raskal menutup mulutnya ketika suara Arkasa lebih dulu menginterupsi. Membiarkan Javas menatap sahabat mereka itu.

"Arkasa," tegur Javas sedikit tegas.

Arkasa memasukkan ponselnya dalam saku jas. "Gue ada urusan lain. Ada Nazeem di atas sana."

"Arkasa." Terdengar suara Javas yang semakin rendah. Sementara yang ditegur hanya memasang mata yang menukik tajam itu.

"It's okey," Raskal segera menyangkal keduanya, dan menarik tangan Javas kecil. "Thanks for coming, Buddies," sambungnya pada Arkasa.

Yang di ajak berbicara hanya mendengus kecil, dan berbalik meninggalkan dua orang tersebut. Javas sempat hendak menahan Arkasa, namun tangan Raskal lebih dulu terulur. Ia menggeleng kecil. Tanda semua baik-baik saja.

"Sudah nyaris enam tahun kalian berdua perang dingin, apa yang sebenarnya terjadi?"

Raskal hanya menepuk pundak Javas, mengirimkan sinyal bahwa mereka akan baik-baik saja. Pasti. Meskipun pada kenyantaannya, setelah apa yang terjadi diantara mereka, akan cukup sulit bagi Raskal untuk mendapatkan maaf dari Arkasa.

"Kalian dulu saling merangkul di antara kita berlima. Sekarang kalian justru saling memukul."

"Gue gak pernah mukul dia, Bro."

Javas menunjuk Raskal kecil. "You are the one, who push him first, Kal."

Raskal hanya tersenyum kecil, mempersilakan Javas memasuki lift bersamanya. Lantas, menekan angka menuju lantai empat belas.

"Mari temui 'dia' lebih dulu, sebelum Nazeem ikutan marah lagi."

Pintu lift nyaris tertutup, ketika sudut mata Raskal menangkap sosok yang baru saja melewatinya. Mata lelaki itu melebar kala indra penciumannya merasa mengenali aroma yang menyisa.

"Dea!" ucapnya tersentak.

Ting..

pintu lift tertutup lebih dulu, sebelum Raskal berhasil keluar. Javas disamping menatap kawannya itu dengan kening sedikit mengerut.

"Dea?" ulangnya mendengar suara Raskal.

Di satu sisi, sosok yang merasa namanya di panggil itu sempat berhenti sesaat dan menoleh ke belakang, gerakan refleks, sebab ia pun memiliki nama tersebut. Wanita itu mendengus geli dan melambaikan tangan kecil.

"Bukankah nama Dea terlalu banyak?" dumelnya kecil dan kembali berjalan.

Namun, baru beberapa langkah. Kaki wanita muda itu kembali berhenti. Kepalanya tertungak kecil. Tunggu sebentar...

Orcid membalikkan badannya cepat dan menatap pintu Lift dengan angka yang terus berganti tersebut.

"Raskal?" gumamnya kecil. Orchid akhirnya menggelengkan kepala, halusinasi. "Itu enggak mungkin.

"Ada apa?"

Orchid kembali mendongak dan tersenyum tipis. Ia berjalan lebih cepat dan menggandeng lelaki yang menunggunya. "Tidak ada."

Pintu Lift kembali terbuka, ketika Raskal bergegas keluar dan meluaskan pandangan demi mencari sosok yang ia duga sebelumnya. Beberapa detik, akhirnya Raskal menyerah dan mendengus kecil. Mungkin hanya pikirnya saja. Lelaki itu tertawa miris. Perfume itu, tak hanya dia saja yang memilikinya.

"Ada apa sebenarnya, Kal?" tanya Javas, melepaskan tahannya pada pintu setelah Raskal kembali masuk.

"Dea, gue kira cewek yang tadi lewat itu dia."

"Dea?" ulang Javas mengingat. "Maksud lo, Oci? Orchidea?"

Raskal mengangguk lemah dan menyenderkan tubuh sembari mendongak kecil.

Javas menyilangkan tangannya di dada. "Bukannya dia ada di Lauternbrunen?"

"Lauternbrunen?" Raskal membuka matanya dan menoleh pada Javas. "Swiss?"

"Yha, dia ada di sana. Dari sekitar sepuluh bulan lalu."

"Gimana lo tau?" Raskal mengubah angka lift mereka menjadi lantai yang lebih tinggi lagi.

Javas yang baru saja hendak bersiap untuk keluar tiba-tiba menahan langkah dan menatap Raskal bertanya. Sementara Raskal menariknya mundur kembali.

"Lauternbrunen. Sepuluh bulan lalu, gimana lo tahu?"

"Apa maksud lo? Satu hari setelah acara lo, nyaris enam tahun lalu, gue di satu pesawat yang sama dengan Oci. Menuju Swiss."

"Pesawat yang sama? Lo sejak kapan naik pesawat umum?"

"Sejak Private Jet gue dipinjem sama sahabat gue buat liburan?" jawab Javas balik bertanya. Matanya melirik Raskal yang hanya menyengir. "Kita pisah di Switzerland, gak banyak bicara karena kami berbeda seat. Setau gue, dia ada nyebut Lauterburnen. Dan yeah, bener aja. Sepuluh bulan lalu, sekretaris gue ngasih list nama Volunteer kesehatan, dan nama Oci ada di salah satunya."

"Jangan tekan lantai lain!" tahan Javas cepat, ketika Raskal hendak menekan angka terbawah dari hotel tersebut. "Gak ada cerita lain! Gue gak kasih tahu lo, karena dia bilang kalau dia sendiri sudah ngabarin lo sebelum berangkat."

"She did?" heran Raskal.

"She dont?"

Raskal menggeleng sebagai jawaban. "Dea gak pernah ngehubungin gue semenjak acara selesai."

Javas mengangguk dan kembali menatap pintu lift. "Itu hal yang wajar."

Pria jangkung dengan gamis panjang darkbrown khas pria arab itu berjalan lebih dulu, sebelum Raskal akhirnya menyusul. Mereka berhenti pada salah satu pintu dengan cat emas bersih, Javas menekan bell yang tersedia. Menunggu beberapa saat, hingga akhirnya pintu terbuka.

"Welcome," sapa Nazeem ketika pintu terbuka.

Nazeem memeluk Javas singkat dan melakukan kompak ala lelaki pada Raskal. Sedikit canggung untuknya saat ini ketika memeluk sahabat lamanya itu.

"Thanks, Nazeem," ucap Raskal bersahabat.

"Javas minta gue buat bantu, dan juga... lo bantuin gue pas pernikahan gue, jadi, anggap aja semuanya lunas sekarang."

Raskal tersenyum masam. Semua membaik hanya karena membalas budi ternyata. Nazeem menatap sahabatnya yang menunduk kecil itu.

"Mari berbicara lagi jika Saqeel tiba. Sebaiknya lo temuin aja dulu dia."

"Oke,"

Ditemani Javas dan Nazeem, Raskal akhirnya memasuki ruang apartemen cukup luas itu. Pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita muda dengan rambut blonde yang duduk di tengah ruangan. Sebuah syal biru muda tersampir di kedua bahunya.

"Raskal," sapa sang wanita dengan nada sedikit lemah dan wajah pucat.

Raskal tersenyum kecil, melangkah mendekat.

"Hello, My beautiful Elona."

***

[Sweet] RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang