"Anak tak tahu di untung!!"
"Kenapa selalu membuat keluarga malu?!"
"Rasanya sia-sia aku membesarkan kamu di sini!!"
Umpatan penuh amarah itu beradu dengan suara debam yang memilukan. Dari arah sumber suara, pria setengah mabuk itu terus menendang sesuatu didepannya setelah tangannya puas memukul tanpa ampun.
"Yah... Sudah, ayah!! Kasian adek!!"
"Ayaaah!!!"
"Ayah, buka pintunya! Kakak mohon, Ayah!!"
"Diam kalian semua! Anak tak tahu terima kasih seperti ini tidak pantas jika harus dimanjakan lebih banyak lagi!"
"Seharusnya dia belajar berterima-kasih dengan benar!"
"Benar-benar mengecewakan!!"
Dewa menatap sosok yang bergeming di depannya dengan sorot mata tajam. "Aku menyesal memiliki putri seperti mu. Kamu bahkan tidak bisa melakukan apapun."
Pria itu mengumpat marah, namun kali ini tak lagi mengeluarkan pukulan. Akhirnya ia keluar dari kamar itu setelah hampir setengah jam menguncinya dari dalam. Dalam satu kali sentakan, ia membuka pintu dan langsung berhadapan dengan wajah Zahra serta Istrinya.
Lusi segera menenangkan suaminya, sementara Zahra meringsak masuk ke dalam kamar adiknya.
Sedari tadi, Oci hanya meringkuk diam di atas tempat tidur, sementara Ayahnya mengamuk dan mulai memukuli tubuhnya. Bahkan tanpa segan menginjak gadis itu tanpa ampun. Sejak awal, ia sudah mendengar jika Dewa mengamuk marah di luar sana. Lusi berusaha untuk menahannya, namun pria itu dengan mudah masuk ke kamar Oci dan memakinya. Untuk itu gadis itu tak ingin bergerak dari ranjang, dan bersikap seolah tertidur pulas.
Yang ia lakukan hanya mengepalkan tangan dengan kuat, dan menangis dalam diam. Tubuhnya kebas karena menahan sakit yang luar biasa. Bibirnya terlalu kelu, bahkan untuk sekedar meringis saja. Ia sama sekali tidak tahu apa alasan sang ayah sangat marah, sehingga ia yang menjadi bahan pelampiasan malam ini. Tapi satu hal yang Oci tahu, siapapun yang bersalah, akan selalu dirinya yang menjadi tujuan Dewa.
Saat pintu terbanting terbuka, air mata Oci mengalir deras. Sedikit lirihan terdengar dari bibir yang sudah berdarah karena terlalu kuat menahan rasa sakit.
"Deaa, kamu—"
"Keluar."
"Dea..."
"Gue bilang keluar!" marah Oci yang tiba-tiba bangkit dan mendorong Zahra menjauh. Tatapan gadis itu bengis.
Zahra tertegun melihat tatapan Orchidea. Seolah ia adalah orang yang paling gadis itu benci seumur hidupnya. Hal lainnya adalah bibir, hidung, dan telinga gadis itu mengeluarkan darah segar. Meskipun tak ada memar di wajah gadis itu karena ia melindunginya dengan kuat. Tapi jelas sekali jika kondisi tubuhnya sangat payah saat ini.
"Dea, gue cuma mau—"
"Apa gak cukup dengan semua ini? Apalagi yang harus gue tanggung? Sikap sok peduli lo?" Orchid menggelengkan kepalanya putus asa. "Jangan nambahin beban gue lagi. Gue mohon sama lo."
Lusi masuk menyusul dan menatap Zahra yang berdiri kaku, menatap wajah Orchid yang seperti tak lagi memiliki arah untuk hidup.
Mata Orchid menatap pintu masuk, bertemu langsung dengan manik mata ibunya. Tatapan gadis itu sebenarnya kosong, namun ia masih bisa mendengus sinis. Dari balik selimut, tangannya keluar dan melempar sebuah benda. Hal itu menarik perhatian Lusi dan Zahra yang seketika pucat.
Gadis itu berdecih melihat ekspresi keduanya. Ia bangkit dari tempat tidur, meski dengan kaki gemetar. Entah bagian mana yang patah kali ini, ia tidak tahu.
![](https://img.wattpad.com/cover/265550610-288-k31286.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sweet] Revenge
Teen FictionDipertemukan oleh malam, dipisahkan oleh Senja. April, 21 Untuk kamu, teman kecil ku..