Raskal menguap lebar dan menarik topinya turun. Matahari menyengat kulit di pagi hari, seluruh siswa di kumpulkan menjadi satu di lapangan. Itu artinya, ini adalah hari sakral, senin menderita.
Berdiri dibarisan belakang siswa kelas sebelas Multimedia, Raskal menarik Arkasa agar berdiri di depannya dan melindungi wajah lelaki itu dari terik mentari. Sementara Nazeem dan Saqeel ikut berlindung di belakang Javas. Resiko berbadan tinggi dan besar.
Sebenarnya, tubuh mereka memiliki jenjang tinggi yang sama. Namun, dua tiang didepan mereka itu memiliki lebar bahu yang sedikit lebih luas.
"Nauzubillah, sedep bener panasnya!" keluh Nazeem mengusap peluh di garis rahang.
"Mana abis ini olahraga, anjeng!" tambah Saqeel sembari mengerutkan keningnya juga.
"Item gue, asu," balas Nazeem.
"Kita emang udah item, tolol!"
Raskal menyengir mendengar gerutuan Nazeem dan Saqeel yang memang memiliki tone kulit lebih gelap, namun terlihat sangat manis dan aestetik.
"Gue denger, abis olahraga kita bakal kelas kosong," bisik Arkasa sedikit menolehkan kepala.
Nazeem yang sedari tadi menekuk lututnya itu sedikit mendongak demi menatap garis rahang Arkasa yang juga mengeluarkan peluh.
"Boleh balik? Semua kelas atau kelas kita doang?"
"Semua kelas," Javas membalas. Ia memang mendengar kabar itu saat mengambil absen titipan Wali Kelas mereka tadi.
"Nongkis, jangan?" tanya Saqeel menoleh pada Raskal.
"Engga tahu, Dea katanya hari ini mau ke Gramedia. Kalo beneran pulang cepet, ya berarti ke sana lebih cepet."
Raskal sedikit mendongak dan memainkan alisnya bersamaan dengan Saqeel dan Nazeem. Tahu jika nama tersebut mungkin memberikan efek kecil pada dua sahabat mereka yang berdiri tegak.
Yang Raskal dapati, hanya Arkasa yang sedikit menolehkan kepala. Meski gerakan tipis, Raskal jelas bisa menangkapnya. Sementara, Javas masih diam ditempat. Cuek dengan sekitar. Entahlah, mana yang sebenarnya menaruh hati pada sahabat kecilnya itu.
Tujuh menit lagi berlalu, akhirnya barisan dibubarkan. Raskal melenguh kecil dan segera menarik sahabatnya untuk menepi. Panas mentari terasa seperti jam sebelas siang. Beruntung angin masih sering berhembus menghilangkan rasa gerah.
"Kal.. Kal.. Kantin dulu, kantin!" tahan Arkasa menarik kembali lengannya yang sejak tadi dibawa Raskal. "Cekat gue."
"Rokok, sih," ujar Saqeel menjawab.
"Bener, sih,"
"Bodoh," Javas memukul belakang kepala dua temannya.
"Lo duluan aja, gue ke kelas dulu," kata Raskal sembari menatap lantai dua kelas mereka.
"Ngape lo? Bolak-balik, anjing, kek kurir."
"Lupa bawa dompet."
"Najiiiissss!" seru keempatnya bersamaan.
"Berapa sih harga es cekek, Kal? Mampu gue mampu kalo lo mau beli tiga," sahut Nazeem mengeluarkan dompetnya.
"Au, nih, anjing. Kalo gak cukup, ada Javas!" tambah Arkasa menunjuk Javas dengan dagunya.
"Duit lo mana?" Javas menoleh pada Arkasa yang segera menyengir lebar.
"Biasa... abis," ia mengalungkan tangannya pada pundak Javas akrab. "Ntar gue narik di elo, ya, brother."
Javas hanya mendengus mendengarnya. Hanya dua alasan Arkasa kehabisan uangnya lebih cepat. Pertama, karena ia mabuk, dan yang kedua, karena ia mulai membongkar perintilan motor dan mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sweet] Revenge
Teen FictionDipertemukan oleh malam, dipisahkan oleh Senja. April, 21 Untuk kamu, teman kecil ku..