Pada akhirnya, Dewata benar-benar menjemput Orchidea dan membawa gadis itu menuju rumah sakit. Pertama, untuk mengobati goresan merah pada kaki Orchid, dan kedua untuk menghampiri dokter Dewata.
Kening Dewata mengerut kecil, sekarang ia juga baru sadar, sejak kapan ia suka rela membawa kakinya sendiri melangkah ke rumah sakit? Bahkan, saat menerima laporan bahwa mobil Dewata berada di halaman rumah sakit itu, nyaris seluruh dokter pontang-panting menghampiri lelaki itu, itupun jika Dewata tak segera mengirimkan pesan bahwa ia tidak ingin ada kegaduhan apapun.
Terlalu drama? Tapi harus bagaimana? Dewata memang terlahir dari dua orang tua kaya. Ibunya saja memiliki darah Rusia. Tapi, dibandingkan dengan Javas, Dewata tentu masih berada dibawahnya. Dengan ibu yang memiliki beberapa rumah sakit di kota besar di Indonesia, rasanya wajar jika Dewata di kenali dengan mudah di rumah sakit miliknya.
Kini keduanya tengah duduk menunggu di lorong rumah sakit. Baiklah, seperti ini kah rasanya menunggu antrian menemui dokter?
"Lo pernah mengantri sebelumnya?"
Dewata menoleh ketika Orchidea bertanya. Ia sedikit kagum, perihal seolah gadis itu menyuarakan isi pikirannya barusan. Lelaki yang duduk bersandar dengan kaki sedikit terbuka itu menggeleng santai.
"Gak pernah."
"Terus kalo sakit?"
Dewata memiringkan kepalanya kecil. "Mereka yang datang."
"Woah!"
"Woah?" heran Dewata mengulang. "Emang lo gak pernah ke rumah sakit?"
"Eh? Gue ke rumah sakit sama Abahnya Raskal, atau Bunda. Sekedar buat cek kondisi jari-jari."
Dewata menatap jemari tangan Orchid yang memang sedikit memerah. "Biola?" Orchid mengangguk sebagai jawaban. "Terus, kalo sakit parah?"
Gadis itu menyengir hingga matanya menyipit. "Kalo sakit, biasanya gue sembuh sendiri dulu, baru deh dibeliin obat."
"Maksudnya? Lo gak diperhatiin?"
"Sembarangan! Diperhatiin, lah! Cuman, terkadang gue gak pernah bilang aja kalo lagi sakit. Toh, nanti sembuh sendiri. Gue juga mentok-mentok kena Demam atau Flu aja, tuh!"
Dewata hanya menatap gadis yang kini menunduk sembari memainkan sepatunya. Masih tersenyum manis. Sepertinya banyak hal yang ditanggung gadis itu sendirian.
"Kenapa lo nekat berantem, padahal kondisi tangan lo cidera, Kak?"
Suara Orchid kembali memecah keheningan di antara keduanya. Gadis itu bertanya dengan kepala masih tertunduk menatap sepatunya. Perlahan ia membalas tatapan Dewata padanya. "Lucu aja. Lo pergi tepat ketika Viko bilang mereka mau jadikan gue umpan." Ia menganggukan kepalanya sekali. "Ada banyak alasan, gue tahu. Tapi, lo adalah orang yang gak peduli sama sekitar, kecuali yang berada di lingkaran lo sendiri."
"Sebenarnya apa yang lo mau dari gue?" Binar mata Orchid kini berubah, seoalah ia menuntuk kejelasan yang lebih dalam. "Kalo hanya sekedar tentang Raskal, lo gak akan mendapatkan apa-apa. Gak sekali dua kali gue didekatin senior Helios, hanya untuk tahu gimana Raskal sebenarnya."
Pintu di depan mereka terbuka dan menampilkan sosok dokter pria berusia akhir tiga puluhan, ia menunduk kecil ketika bertemu tatap dengan Dewata dan dibalas lelaki itu dengan hal yang sama. Dokter tersebut lantas masuk kembali ke ruangannya.
"Gue suka sama lo," jawab Dewata sembari berdiri. Ia mengacak kecil puncak kepala Orchid. "Apa itu jawaban yang cukup?"
"Untuk orang yang-,"
Ucapan Orchid terhenti ketika tangan Dewata menepuk-nepuk pipinya pelan. Baiklah, bahkan saat ini lelaki itu tersenyum. Orchid nyaris terperangah karenanya. Sejak kapan lelaki itu tersenyum? Bukan seringaian tipis licik yang biasa ia tampilkan, melainkan sebuah garis lengkung naik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sweet] Revenge
Teen FictionDipertemukan oleh malam, dipisahkan oleh Senja. April, 21 Untuk kamu, teman kecil ku..