60. Chilly

960 111 4
                                    

Suasana dingin ini masih terus bernaung di negara Thailand. Menyebarkan rasa dingin hingga ke tulang. Menjadikan negara itu haus akan kehangatan, dan merindukan sinar matahari yang menyengat.

Satu bulan ini hidup Frank benar-benar terasa hampa. Biasanya dia akan mendapatkan semangat dari adik satu-satunya. Tapi kini, semuanya seakan hilang. Dia hanya bisa melihat Nanon, tanpa mendapatkan senyuman atau bahkan pelukan seperti biasa.

Frank rindu. Hingga rasanya ingin berteriak. Maka dari itu, hari ini dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Memasuki kamar Nanon yang sudah satu bulan tidak ditempati.

Sesampainya di kamar Nanon. Frank langsung tertarik pada kamera milik adiknya. Kamera yang tiga tahun lalu di berikan oleh Krist sebagai hadiah ulang tahun. Kamera yang banyak menyimpan kenangan indah mereka.

Frank menyalakannya, sempat berdecak kagum dengan talenta yang dimiliki oleh Nanon. Karena hasil jepretan adiknya itu sangat indah. Walau hanya sebuah bunga layu yang tampak segera mati.

Jari pria itu terus menekan tombol yang berfungsi untuk menampilkan foto selanjutnya. Hingga tiba jarinya berhenti untuk menekan, ketika layar itu menampilkan fotonya sendiri yang sedang tertawa.

Frank ingat kejadian di dalam foto itu. Dia dan Nanon sedang menikmati sore hari mereka di salah satu pantai yang ada di Phuket. Hanya berdua, tanpa kekasihnya masing-masing. Karena pergi kesanapun tak mereka rencanakan sebelumnya.

Pria itu menghela napas. Mengingat masa lampaunya dengan Nanon justru membuat rasa sakit di hatinya semakin menjadi. Karena hal-hal seperti ini akan sulit untuk mereka lakukan kembali. Nanon terancam tak bisa kembali melakukan aktivitasnya dengan normal. Sedangkan dirinya, mana mungkin bisa melakukan itu semua tanpa sang adik? Bahkan sekarang pun dia sedang mengambil cuti kuliah karena seharusnya libur semester sudah selesai sejak satu bulan lalu.

Menarik napasnya dalam-dalam, Frank kembali menekan tombol dikamera itu. Dan dia mengernyitkan dahi tatkala bukan sebuah foto yang ada disana. Melainkan sebuah video yang menjadikan wajahnya sebagai sampul. Tanpa ragu, tentu Frank langsung memutarnya.

Di dalam video itu hanya ada Frank yang sedang bermain pasir sendirian. Tampaknya Nanon berdiri cukup jauh dari Frank dan memilih menggunakan fitur zooming pada kameranya.

"Aku sangat suka jika melihat Phi Frank tertawa. Dia tampak seperti malaikat." Gumam Nanon pelan, namun masih dapat Frank dengar dengan jelas.

"Aku harap... Dia akan tertawa seperti itu terus."

Frank mengigit bibir bawahnya ketika air mata itu mengalir tanpa bisa di hentikan. Suara itu, suara yang sangat dia rindukan. Suara yang selalu membuat hati Frank tenang. Tapi kenapa sekarang, justru membuatnya terasa sakit?

"Shia Nanon! Kenapa aku menekan tombol record?"

Di sela tangisnya, Frank terkekeh ketika mendengar gerutuan Nanon. Lalu tak lama video itu selesai. Karena ternyata Nanon tak sengaja merekamnya dulu. Adiknya memang sangat menggemaskan.

Ketika hendak kembali melihat isi yang ada di dalam kamera itu, tiba-tiba Frank di kagetkan dengan suara ponselnya yang tiba-tiba berdering. Maka dengan pasrah dia meletakan kamera itu di meja nakas. Beralih meraih ponsel yang ada disaku jaketnya.

"Halo, Phi?"

Frank tak langsung mendapat jawaban dari Pluem sang penelepon. Justru dia harus mendengar suara orang-orang yang amat berisik lalu disusul suara isakan Pluem yang semakin lama semakin jelas.

"Phi, apa yang terjadi?" tanya Frank gelisah.  Bahkan dia sudah bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar Nanon.

Barulah ketika mendapatkan jawaban dari Pluem, langkah kaki Frank berubah menjadi lebih cepat. Bahkan Frank berlari dengan air mata yang semakin deras mengalir.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang