46. Sweet Lies

967 106 13
                                    

Setelah melakukan pemeriksaan pada paru-parunya, Nanon tak kunjung bisa tertidur di ruang rawat itu. Padahal malam tadi dia sama sekali belom memejamkan mata sejak rasa sesak menghampirinya.

Andai saja rasa sakit itu tak kembali menyerangnya, mungkin sekarang Nanon ada di dalam perjalanan pulang. Lagi-lagi, penyakit itu membuat Nanon harus tertahan di rumah sakit ini untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.

"Apa Dadamu masih sangat sesak?" tanya Frank hendak mengusap dada Nanon, namun tangan kurus itu menahannya.

"Maidai. Aku sudah baik-baik saja, Phi."

Frank terdiam. Memandang wajah Nanon yang kini setengahnya tertutup oleh masker oksigen. Apakah adiknya itu sedang bergurau? Bahkan dengan sangat jelas jika keadaannya jauh dari kata baik.

"Seberapa banyak lagi kau ingin membohongiku?" tanya Frank yang tiba-tiba merubah raut wajahnya menjadi dingin.

"Apa maksudmu, Phi? Aku tidak pernah berbohong," ujar Nanon yang sebenarnya tak mengerti arah pembicaraan kakaknya.

"Kau selalu berkata baik-baik saja. Bahkan, saat di Paris kau tak pernah mengatakan yang sebenarnya. Seberapa jauh lagi kau ingin membuat aku menjadi kakak yang buruk, Nanon-kub?" Nanon tertegun. Kala melihat kedua mata Frank memerah. Bahkan kini mulai menjatuhkan air mata, yang lagi-lagi karenanya.

"Phi-----"

"Berapa banyak rahasia yang kau sembunyikan, Nanon? Bukankah selama ini..... Kau terlalu sering mengelabuhiku?"

Nanon tergagu. Dia tak tahu harus jawab apa karena ucapan kakaknya benar. Entah tahu darimana, tebakan Frank sangatlah tepat sasaran. Saat dimana Frank mulai mengambil tanggung jawab penuh atas adiknya, begitu banyak rasa sakit yang Nanon sembunyikan dari kakaknya itu.

"Kau senang, jika aku menjadi kakak yang buruk?" mendengar pertanyaan bergetar Frank, Nanon tentu menggeleng cepat. Bukan seperti itu maksudnya.

"Maidai, Phi. Aku hanya....... Tidak ingin semakin merepotkan. Aku......... Tidak mau terlihat lemah."

Tangis Frank pecah mendengar jawaban Nanon. Hatinya kini berlipat-lipat merasakan sakit, yang di dapat dari ucapan adiknya itu.
"Kenapa pikiranmu sedangkal itu, Nong? Apakah aku pernah mengeluh jika kau merepotkan?"

Nanon kembali menggeleng, meraih tangan sang kakak dan menggenggamnya. Dan merutuki diri sendiri yang telah membuat Frank menangis. Padahal, air mata kakaknya itu adalah sumber rasa sakit terdalamnya.

"Dengar, eoh? Siapa yang peduli jika kau merepotkan? Siapa yang peduli jika kau lemah? Aku..... Memaksamu untuk terus seperti itu denganku. Mengeluhlah, Nanon. Aku akan senang daripada kau terus menyembunyikannya dariku. Kau mengerti?" ujar Frank di tengah tangisnya. Dia merasa menjadi kakak yang buruk karena selama ini tak mengetahui rasa sakit Nanon.

"Baiklah. Jangan menangis lagi, Phi. Kau menyakitiku." Nanon menghapus air mata Frank. Tersenyum tipis, merasa bersyukur mempunyai kakak-kakak yang sangat hebat berada di sekelilingnya.

.........

Sering kali keinginan tak bisa sejalan dengan takdir. Sebuah rahasia yang sulit di tebak oleh siapa pun. Entah itu rasa sakit, kebahagiaan, atau kesedihan. Nanon tak tahu kehidupannya akan seperti apa nanti.

Fibrosis paru-parunya semakin parah. Itu adalah hasil pemeriksaan yang dijalaninya beberapa hari lalu. Dan kini, Nanon sudah bisa menikmati kehangatan rumah Vihoktana yang sangat dia rindukan.

Pria itu tiba-tiba terkekeh. Tampaknya semua anggota keluarga pria itu sudah putus asa. Bahkan tanpa memohon pun mereka langsung mengabulkan permintaannya beberapa hari lalu. Tidak seperti biasanya.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang