40. Foolish Thinking

1K 114 12
                                    

Sedari kecil, Nanon tak terbiasa dengan aturan. Maka dari itu, dia sangat sulit untuk menuruti permintaan yang di berikan oleh keluarganya. Walaupun itu hanya berdiam diri dirumah.

Pria berambut hitam pekat itu meraba pergelangan tangan kirinya. Mengusap gelang yang menjadi identitasnya saat ini. Dengan mata memandang bangunan-bangunan megah milik Bangkok itu dari balik kaca jendela mobil taksi yang dia naiki.

Nanon tidak tahu sampai kapan matanya bisa melihat keindahan kota kelahirannya itu. Karena nyatanya semuanya akan pergi dari dunia ini. Cepat atau lambat, Nanon tentu tak tahu kapan maut akan mengulurkan tangan padanya.

Dia hanya berusaha menikmati waktu yang ada. Terlepas dari amukan keluarganya nanti, Nanon benar-benar tak peduli. Apalagi sekarang untuk keluar seperti ini sangat sulit. Hari-harinya nanti hanya akan dipenuhi oleh suasana rumah sakit.

Nanon mengerjapkan matanya yang terasa perih. Sekuat apapun perasaan yang dia buat, rasa sedih itu tak akan bisa pergi begitu saja. Akan hinggap terus menerus. Dan saat ini kepalanya benar-benar terisi oleh hal-hal buruk yang demi apapun Nanon tak ingin hal itu terjadi.

Dia memejamkan matanya, kala rasa sakit di sekitar perut dan ulu hatinya semakin menjadi. Karena sesungguhnya pria itu sudah merasa sakit sedari ada di Cafe milik keluarga Off.

Nanon adalah pembohong yang baik. Siapapun bisa dengan mudah dia kelabuhi. Bahkan orang terdekatnya sekalipun tak akan dapat melihat apa yang sebenarnya Nanon rasakan jika pria itu mulai bersandiwara.

Dia hanya benci menjadi lemah. Dan membuat orang khawatir sama sekali bukan keinginannya. Nanon hanya ingin memberi sebuah ingatan bahagia untuk orang-orang tersayangnya. Bukan justru air mata yang mereka tumpahkan untuk Nanon. Karena saat itu terjadi, Nanon pasti akan selalu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Merasa begitu tak berguna untuk membuat orang-orang bahagia.

"Tuan, kau tak apa?"

Nanon tersentak mendengar pertanyaan sopir taksi yang dia naiki. Tangan pria itu mulai meraba pipinya yang basah, sama sekali tak sadar jika air matanya sudah mengalir sedari tadi.

"Ah. Aku tidak apa-apa, Paman. Mataku hanya terselip debu tadi." kilah Nanon lalu mengusap seluruh air matanya hingga tak tersisa diwajah tampan itu.

Walaupun tak masuk akal, sopir itu pun tetap mengangguk. Tentu saja karena mobil yang dia kendarai itu bersih, terbebas dari debu sekecil apapun. Dia tahu jika penumpangnya itu butuh privasi. Sekilaspun dia bisa melihat dengan jelas jika keadaan hati penumpangnya itu tak baik-baik tapi memang dia harus diam.

"Tuan, apakah benar ini alamatmu?" tanya sopir itu setelah mobilnya berhenti didepan rumah megah Vihokaratana. Dia bahkan sempat menganga melihat bagaimana mewahnya tempat tinggal itu.

"Ini uangnya, Paman. Terimakasih." Nanon menyodorkan pecahan uang 50.000 Baht kepada supir itu lalu pergi begitu saja. Mengabaikan teriakan sang sopir yang memberitahunya jika Nanon harus mendapatkan uang kembalian.

"Apakah kebahagiaanmu adalah membuat orang lain khawatir, Nanon?" kalimat tajam itu menjadi sambutan untuk Nanon yang baru saja menginjakan kaki diruang tamu rumahnya.

Di sofa ruang tamu itu sudah duduk ketiga kakaknya. Dan yang paling menyeramkan adalah Krist. Bahkan suaranya sudah membuat bulu kuduk Nanon berdiri. Hal yang sudah lama tidak dia rasakan terhadap Krist.

"Aku baru saja----"

"Tidak bisakah kau hanya diam dirumah? Kau tahu kondisimu seperti apa kan?" sanggah Krist dengan suara meninggi. Bahunya langsung mendapatkan usapan lembut Pluem agar pria itu tak terpancing emosi.

"Aku bukan binatang peliharaan yang harus hanya diam didalam sangkarnya." mendengar jawaban Nanon, ketiga kakaknya tampak terkejut. Tidak pernah sekalipun Nanon berani menyanggah ucapan Krist ketika sedang marah. Dan kali ini, adik mereka itu bahkan menjawabnya dengan wajah tanpa beban.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang