42. Wound

994 112 17
                                    

Jika saja tidak ada keluarganya di samping pria itu, mungkin Nanon sudah menyerah dalam hidupnya. Enggan bernapas lebih lama karena seakan dirinya terus dilimpahi oleh beban berat.

Memiliki dua penyakit serius, dan kini harus hidup tanpa limpa. Bukan hal mudah Nanon dapat menerima itu semua. Tapi sekali lagi, yang harus dia lakukan adalah tersenyum. Menutup seluruh luka dihatinya agar semua orang tak lebih khawatir padanya.

"Ayo buka mulutmu. Habiskan bubur ini setelah itu kau harus minum obat."

Nanon menatap tanpa minat pada semangkuk bubur yang kini ada di tangan Pluem. Sudah empat hari lamanya dia harus mengkonsumsi bubur hambar itu, yang rasanya benar-benar buruk.

"Phi, tidak bisakah kau memasakanku makanan yang enak? Bubur itu tidak ada rasanya sama sekali." keluh Nanon menatap Pluem melas. Membuat anak sulung Tawan Vihokratana itu terkekeh.

Pluem bergerak mengecup bibir Nanon sekilas, lalu menyendokan bubur yang dia pegang dan menyuapkannya pada Nanon.

"Nanti aku akan pulang dan membuatkanmu makanan yang enak. Tapi kau harus memakan ini terlebih dahulu."

Dengan terpaksa Nanon menerima suapan itu. Menelan susah payah bubur yang benar-benar hambar. Padahal rumah sakit ini sangat mewah, namun makanannya membuat Nanon harus mengumpat dalam hati. Seakan dapur rumah sakit itu tak memiliki dana untuk sekedar membeli bumbu.

"Nong-kub,"

Nanon yang semula mulai terpaku pada acara televisi, segera menoleh pada Pluem saat kakaknya itu memanggil. Dan Nanon langsung mengernyitkan dahi heran melihat mata sang kakak kini memerah.

"Khopun-kub," setelah mengatakan itu, air mata Pluem jatuh begitu saja.

Nanon tahu apa maksud dari ucapan terima kasih yang baru saja Pluem lontarkan padanya. Pria itu mulai mengangkat tangannya. Mengusap wajah sang kakak dengan lembut. Merasakan beban yang ada di raut wajah itu perlahan. Karena Nanon amat tahu diantara ketiga kakaknya, Pluem lah yang lebih merasa tersiksa. Harus terus telihat kuat di depan adiknya yang lain walau hatinya hancur lebur.

"Maidai, harusnya aku yang mengucapkan terima kasih pada Phi." ucap Nanon dan ketika itu air mata Pluem justru semakin deras keluar.

"Kau pasti sudah sangat berjuang keras. Kau pasti sangat kesakitan. Tapi kami selalu egois dengan terus memaksamu selalu kuat." Pluem terisak, dengan hatinya yang sangat sesak.

Jujur, dia sebenarnya tidak pernah tega melihat Nanon harus berjuang keras  untuk tetap bernapas. Tapi mengikhlaskan juga bukan kemauan Pluem. Pria itu benar-benar merasa takdir mendapatkannya di posisi yang serba salah.

"Tapi, Nong-kub. Kau tahu kan? Aku akan terus menyuruhmu untuk selalu ada di sampingku. Aku tak akan bisa jika kau memilih menyerah." 

Nanon mengangguk saja. Terus menghapus air mata sang kakak yang mengalir. Andai saja luka bekas operasinya sudah sembuh, Nanon pasti akan memeluk Pluem saat ini. Namun sayang, bergerak saja terasa sulit untuk Nanon saat ini karena luka itu.

"Aku tahu, Phi. Aku tidak akan memintamu untuk mengikhlaskanku. Seperti yang lalu, aku akan berjuang semampuku. Sampai dimana kita akan bahagia kelak." ujar Nanon melempar senyuman untuk Pluem, di tengah rasa sesak yang memenuhi dadanya.

Rasa lelah itu pasti ada. Niat menyerahpun terus berputar di kepala Nanon. Namun dia tak akan pernah melakukan itu. Dia akan kembali berjuang, untuk mendapat sebuah kebahagiaan dimasa depan bersama keluarganya.

Nanon selalu yakin, akan ada cahaya di balik sebuah ruangan gelap. Suatu saat, entah bagaimana Nanon pasti menemukan cahaya itu. Mereka akan bahagia dengan cara yang Tuhan sudah sediakan. Rasa sakit ini, pasti akan berakhir.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang