69. Last Pain

1.5K 115 5
                                    

Kakinya melangkah dengan lunglai memasuki area pasar malam yang baru di buka setelah ditutup untuk beberapa saat karena musim hujan lalu. Dia bergabung dengan banyaknya manusia yang hendak menikmati malam akhir pekan.

Kakinya berhenti tepat di depan sebuah bianglala raksaksa. Kepalanya mendongak menatap sendu benda berbentuk lingkaran yang terus berputar itu.

"Kita, kasih sayang ini, kebersamaan ini. Semuanya terasa seperti mimpi. Aku tidak pernah mengiranya sama sekali."

Frank menggigit bibir bawahnya hingga terluka. Kalimat adiknya beberapa tahun lalu benar-benar masih melekat dikepalanya. Dimana dulu Frank dan kedua kakaknya sedang menemani Nanon menaiki bianglala itu.

Dia tidak tahu apa yang benar-benar membawanya ke pasar malam ini. Dia hanya ingin mengenang masa lalu. Dan tempat ini, adalah tempat yang menjadi kesukaan Nanon. Adiknya itu selalu berceloteh, jika pulih ingin pergi kesini. Tentu sebelum kondisi adiknya menurun drastis beberapa hari lalu. Bahkan sampai sekarang, selang ventilator belom bisa dilepas dari tubuh adiknya.

Menghela napas. Frank kembali melanjutkan langkahnya menelusuri pasar malam itu. Dan kini, dia memilih berhenti di depan sebuah stand permainan.

"Kau ingin yang mana Nong?"

"Itu!"

"Lihat. Aku akan mendapatkannya untukmu."

Air matanya jatuh begitu saja. Frank tidak bisa menahannya lagi. Tempat ini benar-benar mengandung begitu banyak kenangan manis, yang jika diingat ketika saat terpuruk seperti ini justru menimbulkan sebuah luka.

"Kau ingin bermain, Tuan?"

Frank mengusap air matanya dengan kasar. Terdiam sejenak untuk berpikir, lalu akhirnya mengangguk dan mengeluarkan selembar uang untuk bermain satu sesi.

Lima tembakan yang Frank lakukan tepat sasaran. Dia tersenyum tipis melihat hasil yang sama dengan beberapa tahun lalu.
"Berikan aku boneka beruang kuning itu, paman."

Boneka yang sama seperti saat itu kini ada ditangannya. Frank sekali lagi mengulas senyum tipis. Dia pikir Nanon akan menyukainya karena boneka pemberiannya saat itu masih ada di Paris.

Berjalan menjauh, Frank tak ingin berlama-lama di pasar malam itu. Dia segera masuk ke dalam mobil putihnya dan membelah jalanan Bangkok yang diterangi oleh lampu-lampu.

Sesampainya dirumah, langkah kaki Frank berubah menjadi riang. Setiap anak tangga yang dia pijak, seakan memberikan kekuatan agar Frank tetap tersenyum untuk berhadapan dengan adiknya nanti. Namun belom sempat sampai di lantai dua, Frank terpaksa menghentikan langkahnya ketika mendengar suara perbincangan yang terjadi didekat tangga tempatnya berdiri.

"Kankernya memang menunjukan penurunan. Tapi tidak dengan fibrosis paru-parunya. Kau pasti tau itu." itu adalah suara Dokter Pui. Frank sudah sangat menghapalnya.

"Mai." kali ini adalah suara Krist. Frank bisa menebak jika perasaan kakak sepupunya itu sedang tak baik.

"Dari hasil pemeriksaan ini, kerusakannya pada paru-parunya sudah sangat buruk. Ponakanmu...... Akan terancam tak bisa lepas dari ventilator itu. Dengan kata lain, dia akan hidup dengan alat itu selamanya."

Frank dengan cepat meraih pegangan tangga saat tubuhnya mulai terhuyung. Jantung pria itu seakan diremas dengan sangat kuat, hingga bernapas pun sulit.

"Aku sudah pernah bilang padamu, Dokter Pui. Selamanya, aku tak akan melepaskan Nanon. Apapun keadaan ponakanku itu." mendengar nada tegas milik Krist, tubuh Frank meluruh dengan lemas.

The Vihokratana Family [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang